Kamis, 20 Oktober 2011

FARO

“Menikah?! Heh?” Laras menjatuhkan putung rokoknya di lantai, mematikannya dengan menginjakkan sepatu bootnya, lantas mengepulkan asapnya di wajah Faro.

“Aaarrrgghh!” Lelaki berambut sedikit pirang itu mengerang. Pecahan kaca itu sudah berhasil ia cabut dari punggungnya. Ia merasa punggungnya sudah sangat basah dan lengket oleh darah. “Aku cuma ingin menikahimu, dan jangan pernah berharap aku akan mencintaimu.”

“HAHAHAHAHA, kau tak akan mungkin mencintai pembunuh seperti aku!”

Faro mematikan lampu senternya. Ruangan jadi begitu gelap seketika. Perlahan Faro mengeluarkan pisau belati dari celana cargonya.


*****

Ia menekan wajahnya di permukaan kaca. Pandangan bulat matanya yang sedikit kecokelatan menancap pada suatu titik tuju. Benda keras kehitaman itu berkilat-kilat memantulkan sorotan cahaya yang memancar dari lampu senter yang digenggam Faro.

Satu, dua, tiga, lima, tujuh puluh menit sudah Faro berdiri mematung di salah satu ruang Museum Kota itu. Gedung tua yang porak poranda di tengah kota. Langit malam yang tak berbintang dengan leluasa menumpahkan dingin anginnya di gedung yang tak lagi beratap itu.

Kota berlimpahan kegelapan dan sepi, tak tampak pertanda geliat kehidupan. Hanya dari kejauhan di ufuk barat tampak aura cahaya dari sumber yang begitu benderang. Juga sesekali tampak larik-larik cahaya seperti bintang jatuh di langit, yang datangnya dari arah tak terduga, yang sebenarnya adalah meteor-meteor yang terus berjatuhan berdeburdebam menghantam bumi.

Faro tersentak dari posisi berdirinya ketika sebuah benda terbang menukik nyaris menghantam kepalanya. Beberapa detik kemudian benda kedua menyusul. Faro sampai terguling hingga ke seberang ruangan yang tak lagi terbatasi dinding, menghindari benda yang berukuran tiga kali tubuh gempalnya itu. Ketika benda kedua yang ternyata sesosok robot itu hendak terbang serentetan peluru menghantam bagian dadanya. Ia kehilangan keseimbangan hingga menabrak kaca yang memagari pecahan batu meteror pertama pencetus hujan meteor di bumi 73 tahun lalu itu.

Seketika nyeri merambati sekujur tubuh Faro yang terhujani pecahan kaca. Darah mengalir meresap dan menetes dari kemeja kotak-kotaknya. Beberapa pecahan kaca juga menancap di punggungnya.

Belum sempat ia bangkit, namun tiba-tiba sesosok robot setengah manusia berdiri angkuh di depannya. Menarik pelatuk pistolnya yang berdiameter 18,6 centimeter dan menodongkannya ke arah Faro.

“Awas!!!” Faro melompat dan menjatuhkan robot yang di beberapa bagiannya telah rusak dan berasap itu. Puluhan robot terbang mengepung sambil menembakkan peluru dengan membabi buta.

Dengan cepat Faro merogoh benda seukuran ballpoint di saku celananya, yang setelah ia tekan di bagian tengahnya benda itu langusng mengembang jadi sebuah perisai baja yang kuat. Sementara manusia robot –yang ternyata seorang perempuan- tadi menembakkan senjatanya ke udara, ia berlari menyeberangi ruangan, menekan sebuah tombol di balik sebuah lukisan dan segera berbalik.

Pakaian robot perempuan itu sudah nyaris rusak total dihujani peluru, namun tiba-tiba serangan dari udara berhenti. Faro dan perempuan itu sama terbelalaknya ketika melihat lima belas meter di atas mereka sudah berjejal robot-robot berwarna pekat siap dengan senjatanya masing-masing.

Tepat ketika robot-robot itu mulai menyerang, lantai ruangan yang kosong itu bergetar hebat, dan tepat ketika ratusan peluru akan menembusi dua tubuh manusia itu lantai ruangan itu sudah berbalik dan menjatuhkan mereka ke ruangan gelap di bawahnya.

“Jadi, apakah kau masih berniat membunuhku, Nona?”


*****

Lampu senter itu menyala kembali dengan sinar yang lebih redup.

“Ini akan mampu bertahan hingga besok malam.” Faro menggunakan senter itu untuk memeriksa lengannya dari kemungkinan masih tersisanya pecahan kaca. “Arghhhhhhh!!!” Ia mengerang kesakitan saat mencoba mencongkel serpihan kaca yang masuk terlalu dalam dengan belatinya itu.

“Aku akan keluar malam ini juga.” Laras yang sama-sama duduk di lantai menyodorkan tanganya ke sorotan cahaya, lalu melepas sebuah pengait sarung besi tangannya.

“Aku tak pernah menyangka ada manusia yang bersekutu dengan mesin untuk membantai bangsanya sendiri.”

“Ya, dan aku adalah satu-satunya orang itu. Tapi aku kira aku tak jauh beda dengan Walikota yang sudah menghabisi seluruh keluargaku.”

“Keluargaku… dan bahkan istriku sudah dibunuh rongsokan tak berdaging itu!”

“Dan sekarang kau ingin menikahiku.”

“Demi kelanjutan umat manusia. Tadinya aku mengira aku adalah manusia terkahir yag tersisa di bumi ini. Dan bagaimanapun kau telah berhutang nyawa padaku.”

“Cih! Siapa yang sudi kau selamatkan, aku lebih baik mati di tangan robot-robot rekananku itu.”

“Rekan? Mereka yang mau membunuhmu?!”

“Ada masalah dalam komponen penutup kepalaku, jadi mereka sempat melihat diriku yang sebenarnya.” Laras menatap pergelangan tangannya yang kosong dengan tatapan sedih. “Tak ada pengkhianatan di antara mereka, prasangka buruk apalagi kecurangan. Dan sekarang mereka telah mengambil alih dunia ini, dengan masih menyisakan kita berdua.”

“Karena itulah pernikahan kita satu-satunya harapan kelangsungan manusia.”

“Sudah tidak ada yang bisa diharapkan, kita tinggal dua biji manusia yang akan musnah, dibantai robot itu, atau kita sendiri yang saling bunuh. Lagipula, menikahiku adalah sesuatu yang akan sangat berat bagimu.”

“Kenapa?”

“Coba kau sorot wajahmu.” Laras memandangi wajah Faro dengan seksama. “Yak, tidak salah lagi, kau sudah ada dalam daftar buruanku, jauh sebelum kubunuh istri dan keluargamu.”

Lampu senter itu tiba-tiba padam. Tangan Faro bergetar hebat. Menggenggam erat pisau belatinya.

Rabu, 19 Oktober 2011

MISI

Suatu komunitas terkadang harus menunjukkan eksistensinya, meskipun terlalu banyak yang harus dikorbankan. Dari harta sampai nilai dan norma yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan. Keadaan sekeliling yang ada hanyalah serangkaian kejahatan yang disengaja. Tugas seluruh anggota komunitas adalah mengumpulkan upeti yang harus diserahkan kepada pemimpinnya dengan cara merampok, mencuri, membunuh dan segala cara yang kejam lainnya. Karena memang itulah aturannya. Hukum mati telah tersedia jika, ada anggota komunitas yang mengumpulkan upeti dari hasil yang diperoleh tidak dengan cara kejahatan. Hak veto sesungguhnya dipegang oleh sang pemimpin. Hanya seorang pemimpin saja yang boleh berbuat baik. Maka pemimpin dan para asistennya yang menyediakan makanan, minuman, dan semua kebutuhan anggotanya. Namun demikian, Pemimpin itu sangat adil. Ia juga sangat senang jika dipuji terutama mengenai rumahnya, hartanya yang berlimpah karena upeti yang dikumpulkan oleh anggotanya. Meski ia menyadari akan keadaan komunitasnya yang bejat, tetapi ia tetap menghormati kaum pamerintahan yang dipimpin oleh seorang gubernur.

Gubernur bukan membiarkan komunitas yang membuat kekacauan itu, namun belum mendapatkan cara yang tepat untuk menangani mereka. Akhirnya, sang gubernurpun mengutus seorang asistennya yang paling cerdas untuk menangani kasus ini. Asisten tersebut menyadari bahwa kasus ini tidak mudah diselesaikan. Maka ia pun berkunjung ke rumah pemimpin komunitas tersebut dengan mengatasnamakan utusan dari gubernur. Dengan senang hati pemimpin tersebut menerimanya. Pemimpin itu terus bercerita akan megahnya rumah yang ia miliki, hartanya dan semua yang dimilikinya. Setelah dua jam, kunjungan itupun selesai. Asisten gubernur pamit untuk pulang. Namun, ia tidak pulang melalui jalan ketika ia berangkat. Ia justru menyusuri di sepanjang pipa di belakang rumah pemimpin komunitas itu. Esoknya asisten tersebut tidak datang ke rumah pemimpin itu lagi. Ia mempersiapkan batu permata yang akan ia kirimkan untuk pemimpin komunitas itu. Ia tidak akan membawanya kesana, karena sudah pasti jika ia membawanya sendiri maka ia akan dirampok.

Hari semakin senja, pemimpin komunitas bejat itu akan mandi, maka ia menghidupkan kran air bak mandinya. Tetapi, ia heran airnya tidak mengalir deras dan semakin lama semakin sedikit dan akhirnya air itu tidak mengalir lagi. Perlahan ia buka kran dengan paksa hingga kran itu pun jebol. Air muncrat ke segala arah, lalu menggelindinglah sebuah batu permata berbentuk prisma yang sangat indah. Ia pun terkejut dan mengambil batu permata tersebut kemudian menyimpannya. Setiap malam ia tidak berhenti berfikir, mengapa batu permata itu bisa ada di dalam pipa bak mandinya. Lalu, ia ingin mencoba mengamati batu permata itu, apakah asli atau palsu. Ia membawa batu permata itu ke pinggir jendela yang ditembus langsung oleh sinar matahari. Begitu terkena sinar matahari, batu itu berkilau mengeluarkan warna-warna yang sangat indah dan beragam. Maka, pemimpin tersebut mengambil sebuah layar berwarna hitam dan membantangkannya untuk menangkap warna-warna sinar itu. Warna-warna itu kemudian memudar, namun tiba-tiba memunculkan huruf demi huruf yang akhirnya ia mendapat apa yang dipikirkannya selama ini. batu permata berbentuk prisma itu membawa pesan untuknya agar ia datang menghadap gubernur.

Dengan persiapan yang penuh, pemimpin komunitas itu menghadap gubernur dan menunjukkan batu permata yang didapatnya. Gubernur menawarkan perdagangan terhadapnya. Tawaran tersebut ialah, gubernur mempersilahkan kepada komunitas itu untuk merampok rakyat yang dipimpinnya, namun dengan syarat mereka harus menyerahkan satu keluarga yang berasal dari komunitas mereka untuk diserahkan kepada gubernur setiap kali mereka merampok. Selain itu, mereka dilarang membunuh rakyat yang dirampoknya. Pemimpin komunitas itu marah dan berusaha berontak, namun dengan sigap asisten gubernur menunjukkan sebuah peta tentang rumahnya yang telah dipasangi oleh bahan peledak. Jika ia tidak menyetujui perjanjian itu, maka rumah dan sebagian komunitasnya akan hancur dan mati sia-sia. Maka pemimpin itupun tidak bisa berbuat banyak.

Hari semakin berganti, jumlah komunitasnya semakin sedikit karena harus ditukar oleh barang-barang yang mereka rampok. Sang pemimpin bingung karena harta yang diperoleh tidak sebanding dengan anggota komunitasnya yang ditukar. Hingga akhir ia mengalami kerugian yang maha dahsyat. Ia hanya tinggal memiliki satu orang pembantu dan dua orang asisten saja. Hartanya habis. Maka ia pun pergi menghadap gubernur. Sesampainya disana, gubernur menunjukkan suatu tempat yang membuatnya sangat terkejut. Anggota yang selama ini ia tukar kini menjadi sebuah komunitas baru. Mereka bercocok tanam, berdagang dan tidak lagi berbuat kejahatan. Maka pemimpin itu pun tertunduk lesu dan menyerah. Ia memutuskan untuk bergabung dan mengabdi kepada gubernur. Langit yang dulu mendung menyelimuti daerah itu, kini kembali membiru. Sampai tiba saatnya “Dor!” suara pistol terdengar dari ruang kerja sang Gubernur. Semua orang tergopoh-gopoh dan tidak ada satu pun yang berani melawan. Singgasana gubernur berpindah tangan, menjadi milik asistennya sendiri. Mendung kembali menyergap daerah itu. Nilai kembali dicabut, norma kembali hangus dan kebaikan sirna. Kabut menebal, menyaksikan sang gubernur baru memimpin keanekaragaman kejahatan terencana yang lebih besar.

SEKIAN

Batu di laci meja

Setiap hari sepulang sekolah Eza selalu bercerita kepada teman-temannya bahwa suatu hari ia akan menjadi pengusaha batu permata, cerita yang selalu ia ulang ketika ia di ejek teman-temannya karena selalu menaruh batu dibawah laci mejanya.

Saat jam istirahat ia sering memandangi batu-batu itu layaknya seorang pegawai kantor yang memandang gaji pertamanya awal bulan ini. Tak jarang Eza menjadi bahan olok-olokan oleh teman bahkan gurunya. Tapi ia tidak peduli, karena baginya batu yang ia temukan adalah batu unik dan cantik menurut penglihatannya. Dan ia akan tetap mencari dan mengumpulkan batu unik dan cantik itu dimanapun ia berada.

Kini Eza sudah menyelesaikan sekolahnya dan batu-batu di laci itupun sudah terkumpul menjadi 1 karung goni. Ibu terkadang bingung dengan tingkah Eza yang aneh, mengumpulkan batu dan menyimpannya. Dan tetap Eza selalu beralasan bahwa ia pengin menjadi pengusaha batu permata. Kebiasaan Eza mengoleksi batu itu tetap tidak berubah bahkan tetap terbawa sampai ia akan menamatkan strata 1 di bidang ilmu kelautan. Dan koleksi batunya kali ini tentu lebih beragam tidak hanya didarat bahkan di lautpun menjadi koleksi pelengkapnya. Eza semakin senang melihat hal ini, tapi tidak dengan Ayah. Ia sudah mulai geram melihat puluhan goni mulai bersarang di gerasi belakang rumahnya. Akhirnya tanpa sepengetahuan Eza ayah membuang batu-batu itu di halaman belakang tepat di bawah kamar Eza dan sisanya ditumpuk menyudut didekat sana.

Sepulang sekolah Eza langsung menuju kamar dan merebahkan diri sebelum akhirnya nanti ia akan memasukkan batu-batu yang ia dapat hari ini ke kantong goni koleksi bebatuan unik itu. Seperti biasa ia akan membuka jendela belakang dan membiarkan angin sejuk berebutan memenuhi kamar tidurnya. Dan alangkah kaget ketika Eza melihat batu-batu kesayangannya sebagian telah tersebar memenuhi halaman belakang. Eza sedih dan langsung berlari menuju Ibu dan bertanya siapa yang telah membuang semua batu berharganya

“Kali ini ayah benar-benar marah Za.” Kata Ibu

“Iya tapi kan tidak boleh seenak mebuang batu-batuku tanpa izin.” Sela Eza. “ibu, ibukan tahu aku sudah lama mengoleksi batu itu dan mungkin bagi Ayah, Ibu, dan teman-temanku itu hanyalah sebuah batu biasa, tapi tidak bagiku Ibu. Itu adalah batu berharga yang telah kukumpulkan selama 13 tahun dan itu batu yang unik. Ibu tahu kan?. Ibu, kali ini aku kecewa kepada Ayah.”

“Eza, sudahlah. Sabar ya. menurut Ibu, bila engkau masih mau batu-batu yang lain itu selamat lebih baik Engkau pindahkan batu-batu itu ketempat yang lebiih aman.”

Kata-kata ibu tadi membuat Eza butuh tenaga ekstra untuk menyiapkan tempat yang sesuai untuk batu-batu kesayangannya.

Toko demi toko sudah di jalani untuk menawarkan batu-batu cantiknya. Tapi ternyata usaha Eza gagal. Ternyata batu itu memang hanya batu bagi mereka. Tapi Eza tidak akan berkecil hati. Dan tiba-tiba Eza teringat dengan teman Ayah yang berjualan batu untuk menghias rumah, tiang dan dinding dengan batu-batu alami. Dan yap! Kali ini Eza berhasil. Bahkan ia takjub dengan batu-batu indah Eza. Satu kali, dua kali dan ternyata semakin lama permintaan terhadap batu-batu hiasnya semakin bertambah. Kini Eza sudah dapat penghasilan dari kumpulan batu-batu hiasnya. Dan perlahan uang itu ia tabung untuk nanti benar-benar ia berikan permata yang asli.

101011

Aku dan Beliau si No.1

Yang seperti aku itu banyak. Ada dimana-mana. Di tempat kerja bangunan, di halaman, di pantai, di dalam lautan, bahkan ada di gunung. Tapi herannya, kami ini tidak eye-catching, tidak menarik untuk diperhatikan. Tapi ya... ada sih yang lumayan ‘cantik’. Bagi mereka yang ‘cantik’, mereka diperjual-belikan dengan sangat mahal. Lalu mereka pun dipamerkan. Semua itu wajar lah.

Dari keberagaman yang kami punya, mulai dari bentuk fisik, sifat, dan tempat keberadaan kami, aku rasa hanya aku yang paling beruntung. Padahal aku ini tidak ‘cantik’ dan tidak istimewa. Bahkan aku ini jelek. Sangat jelek. Aku kecil dan sangat hitam. Diseluruh tubuhku banyak bercak-bercak putih, seperti panu. Aku pun berasal dari tempat yang tidak elit, kolong jembatan. Selama bertahun-tahun aku tinggal di sana.

‘Secantik-cantik’nya mereka yang diperjual-belikan, tapi tidak ada yang sesering aku pergi kemana saja. Mereka yang ‘cantik’ hanya sekali-dua kali diajak pergi. Tapi aku setiap saat selalu diajak pergi. Meskipun, aku tidak ketemu dengan banyak orang. Menurutku, beliau yang mengajak aku pergi ini memiliki sifat aneh. Beliau akan selalu merasa tidak enak dan tidak pede bahkan merasa ada yang kurang kalau aku tinggal. Setiap kali beliau berbicara, pasti beliau selalu menggenggam aku. Tidak pernah tidak. Padahal beliau orang no. 1 di sini, tapi setiap kali berpidato, beliau harus memastikan aku ada.

Pernah satu kali, aku bosan dengan hidupku. Aku capek untuk diajak kemana-mana. Aku risih selalu digenggam bila beliau sedang berpidato. Jadi aku memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan aku ke tempat asal, untuk membebaskan aku dari semua ini. Dan... voila.. do’aku berkabul. Salah satu ajudan beliau si no. 1 ini secara tidak sengaja menemukan aku sedang berada di ruang kerja. Saat itu aku belum diberi pakaian mahal yang dari sutra itu. Aku masih seperti apa adanya aku. Tampaknya si ajudan itu terkejut dan bingung. Ia pun langsung meraih ku dan mengeluarkan aku dari rumah megah itu. Aku senang akhirnya aku bebas. Tapi, tahukah engkau teman apa yang terjadi? Beliau si no. 1 itu langsung membatalkan semua acara dan menyuruh semua anak buahnya mencari aku. Aku berusaha sembunyi, namun apa daya, aku ketahuan. Dan akhirnya aku pun kembali lagi menemani beliau si no. 1.

Sebenarnya aku risih dengan keadaan seperti ini. Beliau seperti ketergantungan dengan keberadaan ku. Seperti yang aku bilang, aku tidaklah istimewa, tidak seistimewa yang beliau pikirkan. Aku tidak punya kekuatan apa-apa. Beliau saja yang berpikir aku ini hebat. Padahal selama ini aku tidak melakukan apa-apa. Beliau hanya kena tipu oleh orang yang memungut ku dari tempat asalku. Katanya aku beginilah, katanya aku bisa begitulah. Padahal selama ini aku hanya menikmati keadaan ku saja yang tak ubahnya seperti cinderella.

Sampai pada satu ketika, “Mas, ini jangan tinggal, nanti tidak lancar” kata sang istri kepada beliau si No. 1 sambil mengangsurkan sebuah kantung berwarna merah terbuat dari sutra yang berisi batu.

*** Ayuri (091011-19.49)