Sabtu, 10 Desember 2011

sandal (belanda)

Siang itu ku berjalan di sebuah lorong sepi bersamanya, ku lihat air mukanya yang pucat seperti orang belanda itu, tapi terus saja kami berjalan “ sayang, kita istirahat dulu ya?” pintanya pada ku, ku gapit lenganya dan ku seret pergi berjalan lagi, ia meronta-ronta ingin ku lepaskan , tapi tetap ku acuhkan hingga tiba-tiba ia berteriak “ Hei, berhenti ! “ teriakannya itu tetap tak ku perdulikan, di tengah garangnya matahari begini dia minta berhenti , lagi pula tempat ini sangat sepi ,bagiman kalau tiba-tiba ada orang jahat yang menghadang kami, fikirku, jadi terus saja aku berjalan. Hingga akhirnya ia menangis, tapi aku diam saja. Mungkin karena dia merasa ku acuhkan dan tak kuperdulikan dari  tadi lantas dia di menendangku dan berkata “ kita putus !” saat itu seolah-olah  halilintar menyambar di siang bolong, aku sangat terluka hingga air mataku menangis , ku pandangi dia dengan tatapan nanar  sambil ku bisikkan sesuatu padanya “ huh, sudah putus padahal baru kemarin ayah membelikan sandal ini dari belanda”




Lisa 

Mana Ikhwan Untukku?

Syarifah Lestari

BLEDERR!! Subhanallah, kaget bukan buatan setelah kubaca pesan singkat di ponsel. Allah, ada yang hendak melamarkuuu! Ini sebuah prestasi, eh (mikir) ya prestasi. Aku baca ulang; hmm, apa ada yang keliru dengan cara ini?
Mirror mirror on the wall, pantaskah aku mendampinginya?” sedikit gila, aku ngobrol dengan kaca meja rias.
Kenapa mesti ngaca, orang seperti dia tentu melamar perempuan bukan karena fisik, kaca menjawab. Tapi sepertinya itu suara hatiku.
Umar. Nama sahabat Nabi, juga nama sahabatku. Mungkin sama kualitas jika hidup semasa, analisaku saja. Umar—yang kawanku—sejak SMA selalu berprestasi, pikirannya tajam, sikapnya tegas, saleh tentu saja. Dan, posturnya itu.. wajahnya itu.. astaghfirullaha’azhim. Aku pernah mengaguminya sebelum hijrah. Lalu aku tobat, karena kekagumanku bertepuk sebelah tangan.
Diterima di kampus yang sama, aku dan Umar berbeda fakultas. Jika bertemu tidak saling sapa, tentu saja, kami tidak saling pandang. Tapi aku hapal bayangannya, karena tiga tahun di SMA kami selalu satu kelas.
Tidak ada yang kebetulan. Hari ini, di hapeku, pada sebuah pesan yang kupastikan tak salah kirim, seorang kawan yang lain mengabarkan keinginan Umar melamarku.
Wiwi nama kawanku itu, agak aneh memang. Menggambarkan orangtua yang tidak kreatif, halah! Ia sudah menikah dua tahun lalu, curi start padahal kuliahnya belum lagi kelar. Sekarang kami sarjana, tapi menganggur. Tidak apa, kan ada suami yang menanggung biaya hidup. Prinsip yang salah. Tolong, kembalilah ke topik!
Wiwi, aku, dan Umar satu organisasi, sebuah lembaga dakwah skup terbesar di kampus. Tidak ada yang istimewa dengan persahabatanku dan Wiwi, kecuali bahwa dia menikah dengan kakak sepupuku, dan kami pernah bertengkar gara-gara pada sepupuku itu, kuceritakan kisah Wiwi yang dulu pernah sms-an ganjen dengan ikhwan senior.
Kami saling diam, lalu berbaikan lagi saat lebaran. Bertengkarnya pada dua hari terakhir Ramadhan.
Ke nomor ponselku, Wiwi yang tidak istimewa mengirimkan pesan ajakan taaruf dari Umar. Apa lagi yang hendak dikenalkan? Ayolah Umar, bukankah kita sudah saling kenal. Kadang-kadang agresif itu tidak baik, nuraniku angkat bicara.
Hatiku berbunga-bunga. Tombol gulir kuarahkan ke bawah, menuju huruf ‘e’, memanggil seseorang yang kuberi nama ‘em-er’ pada ponsel.
“Assalamu’alaykum. Apa kabar, Mbak? Djkalhf fieoifepi dkajdkajs kugruipgoripogsw...” sebagai orang Indonesia, etika berbasa-basi hukumnya wajib.
... terus berbicara sambil melihat jam, pulsa berlari kejam karena beda operator ...
Mbak Em-er adalah penasihat spiritualku, ya kalau berlebihan sebut saja guru ngaji. Teman berbagi masalah yang bertemu muka satu pekan sekali. Kadang-kadang libur juga jika ada acara besar, dan pertemuan dialihkan ke acara besar itu.
“O begitu... umur Ika sekarang berapa?”
“Dua satu, Mbak,” jawabku mantap. Masih muda kan, tapi sudah laku, gila!
“Sayang loh, masih muda banget. Energinya masih bisa disalurkan buat umat.”
“Memangnya kalau sudah nikah nggak bisa ngurusin umat lagi ya, Mbak?” tanyaku lugu.
“Bisa. Tapi harus berbagi dengan suami, anak, rumah... ya kan?”
Kok nanya balik, mana aku tahu. “Jadi gimana, Mbak?”
“Tunda dululah. Lagipula kita punya jalur kok, Ika tunggu saja proposal nikah dari ikhwan lewat Mbak. Insyaallah lebih bisa dipercaya.”
Aku kaget lagi. Benar-benar simalakama. Lantas aku pusing, antara Umar dan Mbak Em-er. Aku cinta keduanya. Apa? Keliru, aku cinta Mbak Em-er. Umar bukan siapa-siapaku, tidak lebih utama dari penasihat spiritual utusan struktur wilayah.
Wiwi ikut kaget mendapat balasan pesan dariku. Lewat telepon, ia khutbah tanpa naskah. Tapi Wiwi hanya tokoh tidak penting, ia marah karena tidak mampu menyenangkan hati Umar. Dan asal tahu saja, Wiwi nikah lewat jalur swasta. Kakak sepupuku, yang salehnya biasa-biasa saja, langsung datang menemui orangtua Wiwi, tidak lewat ustadz.
***
Sepekan kemudian.
Dasar mimpi, tiga hari berturut-turut Umar hadir di sana. Tapi syukurlah, ketaatanku pada Mbak Em-er mampu meredam keinginan yang menurutku tak pantas itu. Prinsipku, yang baik untuk yang baik. Itu kata Quran, jadi santai saja.
Empat bulan berikutnya.
Tapi, ‘santai’ itu cuma gampang diketik. Kini, setelah dengan pongah kutolak Umar, hatiku hancur lebur jadi puing paling puing. Undangan pernikahan Umar tergeletak manis di meja kamarku. Wiwi dengan sangat girang mengantarkannya, bahkan sampai ke kamar. Dia tentu tahu, malam ini bantal gulingku akan banjir.
Betul kata Quran, yang baik untuk yang baik. Umar menikah dengan seorang akhwat yang kelihatan biasa-biasa saja, tapi aku tahu hapalannya banyak, rajin tahajjud dan puasa sunnah. Jangan tanya dari mana aku tahu, akhwat itu binaanku. Sasi, akhwat yang dari segi fisik bertipe standar, tapi membuatku gentar dan kapok untuk mengevaluasi amalan binaan di akhir kajian. Lagi-lagi Umar melamar anak orang tanpa lewat ustadz atau siapalah yang cukup punya label untuk disegani. Mungkin karena Wiwi dianggap tidak kapabel jadi comblang, Umar datang sendirian menemui orangtua Sasi. Karena orangtua Sasi sudah setuju, binaanku yang dahsyat itu kemudian meneleponku bukan untuk minta restu, tapi sekadar mengabarkan rencana pernikahannya. Oh dunia, kau seperti ibu tiri!
Melihat kenekatan cara Umar, kupikir ia tidak dalam lingkaran pengajian lagi—aku cukup berharap, agar hati ini sedikit terhibur—tapi melihat tamu yang hadir di walimahan sederhana itu, makin retak jantungku. Rupa dan bau mereka familiar semua.
Hari ini, pada ulang tahun ke enam hancurnya hatiku.
Penasihat spiritualku sudah lima kali ganti. Sekarang kajian pekanan diisi oleh Mbak Em-er Lima, tapi aku masih sendiri. Setia menanti janji Em-er memberi ikhwan yang lebih pantas untukku. Kabarnya, biodata yang kuukir-ukir dulu sudah menguning di laci besi milik Kaderisasi.
Kulihat kerut dahi Bunda makin bertambah, apalagi jika keluarga datang silaturahim. Orang-orang tak kreatif itu seperti tak punya bahan selain membahas jodoh.
Bunda seperti orang dapat wangsit, selalu optimis menyiapkan segala hal untuk rumah tanggaku kelak. Beberapa alat dapur yang masih baru beliau tandai dengan inisialku, sebagai jatah karena tak mampu memberi warisan sepetak sawah, tanah, atau rumah seperti di sinetron-sinetron.
Melihat semua itu, baru kusadari; aku kualat.
Enam tahun lalu aku meminta izin pada orang yang bahkan tak ingat berapa usiaku, dan sekarang yang bersangkutan tak bisa dituntut pertanggungjawabannya. Ke mana materi kajian? Aku bahkan lupa untuk shalat istikharah, karena ketaatanku salah tempat. Kesadaran yang mutlak telat, bahwa posisi syariat berada di atas aturan atau AD/ART organisasi mana pun.
Sekarang Umar sudah beranak tiga, sedang aku hanya berharap segera melepas predikat singel sebelum berkepala tiga. Tak berani terus terang pada Bunda soal enam tahun lalu, khawatir keijabahan doanya sebagai ibu pudar sebab kecewa.
Menurut teori, seharusnya aku berusaha. Maka ikhtiarku kali ini adalah mendongkrak doa Bunda untukku yang kuyakin selalu ada dalam shalat malamnya. Usia sudah menyurutkan semangatku untuk aktif, termasuk menjemput jodoh—entah dengan cara apa. Terbukti, sekarang aku lebih melow, tidak lucu lagi.
Contohnya pada detik ini, sekompi orang dari pihak Ayah datang ke rumah, ujug-ujug menawarkan beberapa laki-laki kampung mereka untuk dijadikan menantu Ayah-Bunda. Ada yang juragan kambing, tauke sawit, PNS,....
“Tapi ya... mereka nggak jenggotan. Celananya biasa aja, nggak cingkrang. Biarlah, daripada yang jaga masjid itu, jidatnya item tapi makan aja nunggu dikasih warga.”
“Bla.. bla.. bla..”
“Gimana, Ka?” tanya Bunda.
Serrr... Bunda tidak serta merta memberi keputusan, beliau lebih dulu bertanya padaku. Jangankan menjawab, hatiku malah berdarah-darah mengingat kedurhakaanku melangkahi otoritasnya sebagai orangtua.

Sepatu Kaca


“Sandra, kau terlihat cantik dengan sepatu kaca itu. Bayangkan, dirimu bak cinderela asli yang turun hadir dari dunia nyata..”
“Ah, lebay kau ‘ndri. ya udah San, kita pulang yuk.”
“Udah, Ton, biarkan Sandra menikmati indahnya sepatu kaca itu dulu. Lihat tuh, dia masih asyik. Jangan gangu lah”
Sandra tersenyum, “Yuk Ton, Ndri kita pulang!”
Andri dan Tono saling berpandangan seolah berkata dalam tiap tatapan. Mereka mengerti dan paham lalu tersenyum “Ayo… Tuan Puteri…”
“Apaan sih! Yang paling dulu sampai di gapura, dia yang menang.” Mereka berlari, berlari dan berlari. Lalu tertawa lepas menikmati senyum mentari.
***
“Assalamu’alaikum Ummi…”
“Wa’alaikum salam wrwb. Sandra, Tono, Andri. sudah pulang ya? Gimana tadi pelajarannya disekolah? Bisa mengikutinya.”
“Iya, Ummi tadi aku bias menyelesaikan soal dari pak Adam didepan kelas. Hebatkan aku Ummi. Kasih selamat dong!!”
“Oiya, selamat ya cantik, kamu memang pinter. Terus berlajar dan berdoa ya supaya nanti kamu bisa juara lagi.”Sandra tersenyum.
“Aku juga Mi, tadi waktu lomba lari di sekolah dapat juara 2. Hebatkan. Andaikan saja tadi gak ada batu didepan, pasti aku bias nglahin Jono.”
“Eitt.. gak boleh seperti itu, juara 2 itupun sudah hebat, kamu harus bersyukur karena teman-teman yang lain juga berlomba tapi gak dapat juara lagi”
“Tuh, dengar Ndri.”
“Ih, apaan sih.”
“Eh, sudah, kok malah berantem. Udah masuk sana, ganti pakaian terus makan.”
“Siap Ummi” seru mereka bertiga bergaya ala polisi yang patuh pada atasan. Ummi tersenyum.
***
Anak Ummi banyak, tidak hanya kami bertiga, ada sekitar 20 orang lagi saudara kami. Meski kami bukan lahir dari rahim yang sama, tapi kami diajarkan untuk saling mencinta layaknya saudara, saling berbagi dan memberi. Kami seperti kakak adik. Pokoknya rame disini. Ada Ibu Farah yang biasa kami panggil Ummi, Ayah Yahya yang kami panggil Abi dan adek Zahra serta calon adik baru kami di kandungan Ummi farah. Kami adalah anak-anak yang tidak tahu dimana orang tua kami, tapi Ummi dan Abi selalu mengatakan bahwa kami juga anak-anak mereka. Mereka berdua sangat baik dan sudah seperti orang tua kami sendiri. Mereka yang membiayai uang sekolah agar kami tetap merasakan pendidikan seperti anak-anak lain. Adek Zahra pun juga begitu, dia begitu lucu dan menganggap kami adalah saudara-saudaranya. Bukan orang lain.
 Setiap sore, kami akan berkumpul bersama dan berceloteh ria sebagai tanda ikatan yang hangat terhadap keluarga kami di sini. Lalu setelah itu barulah Ayah dan kakak Ilman mengajak kami belajar bahasa arab sembari menghapal al-qur’an. Indah bukan…
“Iqro’.”
“Iqro’.”
“Bacalah…”
“Bacalah..”
“Bismirabbikallazi…”
“Bismirabbikallazi..”
“Dengan nama tuhanmu”
“Dengan nama tuhanmu”
“Kholaq..”
“Kholaq..”
“Yang menciptakan”
“yang menciptakan”
***
Malam itu, aku masih memikirkan tentang sepatu kaca yang indah tadi. Aku sangat menginginkannya. Tapi gak mungkin aku egois. Sedangkan saudara-saudaraku yang lain juga masih membutuhkan banyak uang. Dan gak mungkin aku minta sama Ummi. Diizinkan tinggal dirumah inipun aku sangat bersyukur. Tapi entah mengapa aku tidak bisa menghilangkan bayangan sepatu itu dari benakku. Memang indah…sangat indah… dan aku tertidur dalam khayalku tentang sepatu indah itu.
***
“Sandra, kamu dicari ummi…”, seru Ratna teman sekamarku.
“Ada apa ya?” Ratna hanya mengangkat bahu menandakan bahwa ia tidak tahu.
Segera ku bereskan buku-buku yang berserakan di lantai dan menemui Ummi.
“Ummi, Ummi mencari Sandra?”
“Ia, Ummi nyari Sandra. Sandra, Sandra bahagia tinggal disini?”
Aku binggung, pertanyaan ummi aneh. “Ummi, kok ummi ngomong begitu? Sandra sangat bahagia tinggal bersama ummi disini.” Ummi hanya tersenyum, tapi ku tahu itu senyum yang punya makna. Lalu memelukku erat. Aku binggung.
“ Sandra, Maafin ummi ya yang tidak bisa membahagiakan Sandra. Tapi, ummi bahagia bisa bersama Sandra disini. Apalagi melihat prestasi Sandra disekolah yang bagus dan rajin ibadah. Ummi bangga sama Sandra. Tetap dijaga ya ibadah dan prestasinya.”
Aku bingung kali ini kata-kata ummi tambah ngelantur. Sampai meneteskan air mata. Ada apa ini. Aku bingung.
“Sandra, tadi Ummi ditelpon sama ibu Sandra. Katanya, insyaAllah besok ibu akan kesini dan mengajak Sandra tinggal bersama ibu. Sandra bahagiakan?” kata-kata Ummi tidak seperti wajahnya. Meski tersenyum tapi ku tahu ia begitu sedih. Begitupun aku. Aku tidak tahu harus apa. Aku hanya terdiam menatap ke Ummi.
“Nanti sore, Sandra siap-siap ya. Trus pamitan sama teman-teman. Sandra siap-siap ya.” Ummi mencium keningku dan melepaskan pelukannya lalu pergi.
Aku masih terdiam dan berjalan kosong lunglai. Tak tahu, harus apa. Senang atau sedih. Dan aku juga tidak bisa menterjemahkan ini kabar duka atau suka. Tapi terasa sakit.
Aku memang berbeda dengan saudara-saudara yang ada disini. Kebanyakan anak lain ditinggal ibu atau ayah mereka. Tapi aku, aku berada disini diantar langsung oleh ibu sewaktu kecil tanpa pernah tahu kenapa disini dan kemana ibu. Yang aku tahu, aku senang tinggal di keluarga ini. Karena tidak akan ku dengar suara teriakan, keras, marah dan tangis dari kedua orangtuaku. Hingga 10 tahun aku disini. Tak pernah ku tahu dimana mereka. Dan tiba-tiba esok aku akan bertemu dengan ibu kandung yang telah melahirkanku dan tinggal bersamanya. Aku tak tahu harus merasa apa. Tapi yang pasti aku bingung. Apa bisa aku merasakan dan meresapi makna ibu kepadanya?. Dan Ummi yang sepenuh hati merawatku, saudara-saudara yang begitu mencintaiku? Lalu, dimana aku harus melangkah.
***
Pagi ini, aku masih terdiam. Teman-teman sudah mengetahui kabar ini. Mereka sedih termasuk kedua sahabatku Andri dan Tono. Mereka tak mau mengantarku untuk menjumpai ibuku. Entah dimana mereka berdua. Tuhan, apa ini akhir dari kisahku?, ucapku didalam hati.
Aku masih binggung dalam diamku. Tak ada kata yang keluar dariku semenjak Ummi mengabarkan cerita itu. Teman-teman juga sepertinya mengerti sehingga tak ada yang mau mengusikku.
Mobil sedan hitam melintas di halaman. Ummi dan Abi telah memberikan aku nasehat subuh tadi setelah sholat. Dan kali ini, aku melihat seorang wanita dan laki-laki keluar dari mobil itu. Aku melihat Ummi dan Abi. Ummi terus memegang tanganku dan melihatku dengan mata berkaca dan senyum yang dipaksakan.
Abi bersalaman dengan laki-laki itu dan mempersilahkan mereka duduk di ruang berkumpul kami. Ummi masih mengenggam tanganku dan merangkuh tangannya di pundakku.
“Sandra, Itu Ibu Sandra. Ayo salam.”Ucap Ummi. Aku pun masih binggung, apa benar ia ibuku. Aku tak ingat. Bagaimana anak 6 tahun bisa mengingat wajah ibu nya yang telah hilang 10 tahun dari hidupnya. “Dan ini adalah Ayah Baru Sandra, ayo salam sayang” seru, wanita yang dipanggil ibu itu.
Aku masih terdiam tanpa suara. Memandangi Ummi, Abi dan Saudara-saudaraku. Lalu kulihat Ibu dan Ayah yang masih berbincang dengan Abi dan Ummi. Tuhan… apa ini, mengapa rasanya sakit sekali. Bisikku dalam hati.
Tepat jam 2 siang aku dibawa kedalam mobil itu. Ummi memandangiku dengan pekat dan berkaca-kaca. Teman-teman semua menangis dan aku tak berekpresi apa-apa. Diujung sana, kulihat Andri dan Tono melihatku dari kejauhan. Seolah mengucap selamat tinggal. Aku sedih, tapi tak mampu menangis. Aku kehilangan jiwaku. Serasa mati. Sakit sekali..
Ibu dan ayah terus berbincang mengajak aku bercerita, ekspresi mereka sungguh bahagia. Aku tahu. Dan aku juga tidak mau merusak senyum itu. Sesekali aku tersenyum kepada mereka.
***
Rumah itu megah bertinggkat 2. Aku tidur ditinggkat atas. Ayah dan Ibu di tinggkat bawah. Tapi, rumah megah ini begitu sepi. Tidak ada teman sekamar. Tidak ada kumpul bareng disore hari. Tidak ada belajar mengaji dan al-qur’an. Tidak ada cerita rasul dan nabi. Aku sendiri… dan begitu sendiri.
Malam itu, tangisku pecah dalam sejadah sujud malam. Aku tak punya teman untuk sekedar berjamaah disini. Aku begitu rapuh dalam kesendirian. Aku ingin ke panti…
Esoknya aku dipindahkan disekolah baru, Ayah dan ibu bekerja hingga sore hari dan ketika pulang mereka kecapean dan pergi tidur. Hanya diakhir minggu kami biasa berbincang. Aku sungguh rindu rumah lamaku bersama ummi dan abi.
Minggu itu, aku diajak berbelanja ke mall dan membeli perlengkapan yang aku butuhkan. Hari itu, aku melihat sepatu kaca yang dahulu sering aku lihat bersama 2 sahabatku. Kenanganku kembali kemasa itu.
“San, Kamu kelihatan cantik memakai sepatu itu, seperti cinderela yang turun ke bumi.”
Andri, Tono… aku tidak menginggikan sepatu kaca itu lagi. Aku hanya ingin seperti dahulu yang mengimpikan sepatu kaca bersama kalian. Bukan bersama sepatu kaca dan mengimpikan kalian.
ri, Jambi, 201111

Sandal Banci

Oleh N.E. Saputra

Gemuruh suara serdadu dihantarkan oleh hujan di daerah taman sepermainan.
Pelataran Mesjid seperti kandang kambing yang dipenuhi jejak kaki.
Sayangnya bukan kaki kambing.
Suara-suara jangkrik, terdengar sama dengan lantai berisik, namun terlihat sekelebat bayang-banyang.
Mungkin itu karena suasana sunyi.

Siapa disana, Pak Haji teriak lantang.

Dengan senter sendunya. Pak Haji seperti Sherlock Holmes mengintai di Mesjid samping rumahnya.
Kami Pak Haji. Lantang jawab serdadu.

Ternyata mereka mencari bayang-bayang yang sama dengan Pak Haji.
Maklum sudah tradisi setiap malam minggu para serdadu mencari teman sejenis dari taman sepermainan.

Kami mau mencari teman sejenis pak Haji, biasalah. Terang serdadu
Apa ada orang yang lewat disini pak Haji.
Jejak bukan kaki kambing ada. Tapi hilang bagai Hantu. Jawab Pak Haji

Mereka menatap langit-langit Mesjid.
Mencari-cari jejak bayang-bayang.
Sibuk mereka mencari bayang, sehingga lelah terasa
Lelah mencari mereka berbagi kehangatan dengan daun celup rumah Pak Haji
Kehangatan bernostalgia menjadi hilang kesan mencari bayang-bayang.
Maklum temu kangen dengan Pak Haji.
Sebagian para serdadu merupakan warga lingkungan sekitar yang kerap sekali mendengar tausiah dari Pak Haji yang sering mengumandangkan pentingnya untuk menjaga lingkungan sekitar dari pengaruh prostitusi termasuk penjaja seks asal waria. 
Apalagi sekarang, Peraturan daerah mengenai prostitusi sudah gencar diperbincangkan.

Sandal siapa ini pak Haji Kok seorangan. Tiba-tiba serdadu 1 bertanya asal Banjarmasin
Mungkin sandal anak saya. Jawab pak Haji.
Galau serdadu melihat alas kaki tanpa teman sepasang.
Berjalan gagah gemulai keluar dari sarang seorang laki dengan wajah menor.
Gincu lupa dicuci.
Wah benar praduga saya. Terang serdadu kepada teman-temannya.
Ternyata sandal yang dikantong celanaku ada pasanganya disini.


Keterangan :
Serdadu (satpol PP)
Teman sejenis (waria)
Taman Sepermainan (taman prostitusi/ mis. Taman lawang)
Daun celup (teh)

PERKARA SENDAL WARISAN

Oleh : Karlina
Kau benar-benar gila menyaksikan sendalmu raib di depan mata. Seketika wajah Kakek buyutmu terkenang, pula wajah Ayah.
“Simpanlah sandal ini baik-baik, Nak. Jangan sampai hilang ya.” Petuah Ayahmu menjarah ingatan.
Kau mengacak-ngacak rambut.
Betapa tidak nyamannya kehilangan benda kesayangan. Sosok sandal itu pun serta merta membayang: rakitan bambu kusam, di sekitar tali dan punggungnya terdapat tulisan cina kuno. Begitu antik dan bernilai sejarah.
“Ini sandal warisan Kakek buyutmu. Sandal ini didapatkannya dari pedagang cina pada masa penjajahan belanda.” Lagi-lagi petuah Ayahmu membayang menekan batin.
Lalu kau merasai asamu putus. Hatimu dihantui buncah amarah ketika kau menanyai Doni –teman kos-kosanmu- perkara sandal itu. Jawaban yang diberikannya dengan mimik muka tak acuh, benar-benar membuatmu terpukul.
“Aku berikan ke pengemis sebelum kau bangun pagi tadi.”

Orang-orang Menangis di Makam Ayah


Orang-orang menangis di makam Ayah. Kau ikut tertunduk menyaksikan ritual penguburannya.
Kesedihan yang kau punya lebih membuncah sebelumnya, ketika Ibu terkapar melepas nyawa. Ayah datang setelah kau menemukan jenazah Ibu. Ia meraung-raung.
Kau kenal Ayah. Kau hapal matanya, bahkan detail alur pikiran dari kepala hingga hatinya. Dan kau tahu, ada yang tersimpan di sana.
Lalu sandal Ayah bercerita padamu, ada kelupasan kulit kepala dengan puluhan helai rambut di tapaknya. Kau ingat, Ayah suka menginjak apa saja yang memancing murkanya. Kau pun pernah mengalaminya. Tidak sekali dua, tapi puluhan.
Orang-orang menangis di makam Ayah. Kau membawa sandalnya, dengan helai-helai rambut Ibu. Menguburkannya di antara makam mereka, lalu berkata, “Ayah, setelah kau meminta maaf pada Ibu, baru aku akan minta maaf padamu.”

Darah Hitam

Mentari terbit dengan senyum yang hilang, pagi iniseharusnya kami mendengar kicauan burung, gemerisik dedaunan yang di tiup angin dan kokok ayam yang saling bersahut-sahutan tapi malang tak dapat di tolak , dentuman-dentuman peluru dan jeritan manusia terdengar dari luar jendela, derap langkah serdadu-serdadu jepang semakin terdengar mendekat, dekat bahkan sangat dekat dan perkampungan kami yang menjadi mencekam.


Pak somad yang biasa kami sapa dengan ustad somad tak berani membuka pintu sedikitpun , guru ngaji itu kini mungkin sedang gemetar di pojok lemari di dalam rumahnya.


“ Duar !..Duar !..”terdengar dua kali tembakan yang di layangkan ke udara sebagai peringatan menyusukl suara teriakan serdadu nomor satu “ Somad keluar !” bentaknya seraya memberikan pillihan jika pak somad dan keluarganya ingin selamat maka ia harus menyerahkan diri dan tidak lagi menyebar luaskan agama yang di anutnya,karena mereka fikir semua itu adalah kedok untuk menghimpun kekuatan pemberontak.


Tak dihiraukanya ancaman si serdadu itu, dia tetap tak keluar dari rumahnya sampai serdadu satu berteriak pada serdadu dua “ Bawa dia kemari ! “.serdadu dua datang menyeret gadis berjilbab putih, seraya menangis gadis itu meminta untuk di lepaskan tapi bukanya di lepaskan , jilbab yang melekat di atas kepalanya di tarik dengan kasar, aku sedih melihatnya. Ternyata gadis itu adalah putrid pak somad yang akan pergi ke sekolah tapi di tengah jalan ia di hadang oleh orang-orang itu ,


“Duar !...” terdengar satu tembakan dan satu suara jerit yang tertahan .Gadis mungil itu kini tersnyum dalam tidur panjangnya.


Kini giliran seorang perempuan separo baya yang di seret paksa oleh serdadu tiga dari belakang rumah,sementara serdadu satu dan yang lain tertawa terbahak-bahak dengan sekuat tenaga ia coba melepaskan diri, meronta ,mencakar,tetap tak di lepaskanya, digigitnya tangan serdadu tiga hingga berdarah, hal itu lantas membuat serdadu lain tambah terbahak-bahak seperti orang yang sedang melihat pertunjukan ludruk . Si serdadu tiga yang merasa kesakitan akhirnya kalap lantas menghantam kepala wanita itu hingga tersungkur, tak puas dengan itu ,serdadu tiga menyatkan belati yang terpasang di ujung senapanya, mula-mula wajah, tangan ,tubuh yang terbungkus rapi dengan baju kurung itu pun tak luput dari tajamnya mata belati itu, darah mengalir bercampur dengan tanah di susul dengan satu tembakan terakhir dari serdadu tiga. wanita itu menyusul anaknya yang telah pergi lebih dulu.


Namun alangkah terkejutnya aku, ketika dari balik jendela kulihat sesosok tubuh keluar dengan tanpa rasa takut bahkan tidak gemetar sedikitpun, ia hanya tersenyum dan berkata “ Allah ma’ana , Allah pelindungku dan Dia yang memberiku selamat ! bukan kalian “ kata-kata pak somad lantas membuat serdadu satu, dua, tiga dan yang lain ubahnya seorang pemburu yang mendapatkan buruanya. Dengan seringai yang mengerikan mereka memberondong pak somad dengan senapan yang dari tadi di hunuskan .
Genangaan darah yang merah bersih dari seorangpak somad telah di kotori oleh kekejaman orang-orang yang tak berhati manusia.






By: Lisa

Kamis, 20 Oktober 2011

FARO

“Menikah?! Heh?” Laras menjatuhkan putung rokoknya di lantai, mematikannya dengan menginjakkan sepatu bootnya, lantas mengepulkan asapnya di wajah Faro.

“Aaarrrgghh!” Lelaki berambut sedikit pirang itu mengerang. Pecahan kaca itu sudah berhasil ia cabut dari punggungnya. Ia merasa punggungnya sudah sangat basah dan lengket oleh darah. “Aku cuma ingin menikahimu, dan jangan pernah berharap aku akan mencintaimu.”

“HAHAHAHAHA, kau tak akan mungkin mencintai pembunuh seperti aku!”

Faro mematikan lampu senternya. Ruangan jadi begitu gelap seketika. Perlahan Faro mengeluarkan pisau belati dari celana cargonya.


*****

Ia menekan wajahnya di permukaan kaca. Pandangan bulat matanya yang sedikit kecokelatan menancap pada suatu titik tuju. Benda keras kehitaman itu berkilat-kilat memantulkan sorotan cahaya yang memancar dari lampu senter yang digenggam Faro.

Satu, dua, tiga, lima, tujuh puluh menit sudah Faro berdiri mematung di salah satu ruang Museum Kota itu. Gedung tua yang porak poranda di tengah kota. Langit malam yang tak berbintang dengan leluasa menumpahkan dingin anginnya di gedung yang tak lagi beratap itu.

Kota berlimpahan kegelapan dan sepi, tak tampak pertanda geliat kehidupan. Hanya dari kejauhan di ufuk barat tampak aura cahaya dari sumber yang begitu benderang. Juga sesekali tampak larik-larik cahaya seperti bintang jatuh di langit, yang datangnya dari arah tak terduga, yang sebenarnya adalah meteor-meteor yang terus berjatuhan berdeburdebam menghantam bumi.

Faro tersentak dari posisi berdirinya ketika sebuah benda terbang menukik nyaris menghantam kepalanya. Beberapa detik kemudian benda kedua menyusul. Faro sampai terguling hingga ke seberang ruangan yang tak lagi terbatasi dinding, menghindari benda yang berukuran tiga kali tubuh gempalnya itu. Ketika benda kedua yang ternyata sesosok robot itu hendak terbang serentetan peluru menghantam bagian dadanya. Ia kehilangan keseimbangan hingga menabrak kaca yang memagari pecahan batu meteror pertama pencetus hujan meteor di bumi 73 tahun lalu itu.

Seketika nyeri merambati sekujur tubuh Faro yang terhujani pecahan kaca. Darah mengalir meresap dan menetes dari kemeja kotak-kotaknya. Beberapa pecahan kaca juga menancap di punggungnya.

Belum sempat ia bangkit, namun tiba-tiba sesosok robot setengah manusia berdiri angkuh di depannya. Menarik pelatuk pistolnya yang berdiameter 18,6 centimeter dan menodongkannya ke arah Faro.

“Awas!!!” Faro melompat dan menjatuhkan robot yang di beberapa bagiannya telah rusak dan berasap itu. Puluhan robot terbang mengepung sambil menembakkan peluru dengan membabi buta.

Dengan cepat Faro merogoh benda seukuran ballpoint di saku celananya, yang setelah ia tekan di bagian tengahnya benda itu langusng mengembang jadi sebuah perisai baja yang kuat. Sementara manusia robot –yang ternyata seorang perempuan- tadi menembakkan senjatanya ke udara, ia berlari menyeberangi ruangan, menekan sebuah tombol di balik sebuah lukisan dan segera berbalik.

Pakaian robot perempuan itu sudah nyaris rusak total dihujani peluru, namun tiba-tiba serangan dari udara berhenti. Faro dan perempuan itu sama terbelalaknya ketika melihat lima belas meter di atas mereka sudah berjejal robot-robot berwarna pekat siap dengan senjatanya masing-masing.

Tepat ketika robot-robot itu mulai menyerang, lantai ruangan yang kosong itu bergetar hebat, dan tepat ketika ratusan peluru akan menembusi dua tubuh manusia itu lantai ruangan itu sudah berbalik dan menjatuhkan mereka ke ruangan gelap di bawahnya.

“Jadi, apakah kau masih berniat membunuhku, Nona?”


*****

Lampu senter itu menyala kembali dengan sinar yang lebih redup.

“Ini akan mampu bertahan hingga besok malam.” Faro menggunakan senter itu untuk memeriksa lengannya dari kemungkinan masih tersisanya pecahan kaca. “Arghhhhhhh!!!” Ia mengerang kesakitan saat mencoba mencongkel serpihan kaca yang masuk terlalu dalam dengan belatinya itu.

“Aku akan keluar malam ini juga.” Laras yang sama-sama duduk di lantai menyodorkan tanganya ke sorotan cahaya, lalu melepas sebuah pengait sarung besi tangannya.

“Aku tak pernah menyangka ada manusia yang bersekutu dengan mesin untuk membantai bangsanya sendiri.”

“Ya, dan aku adalah satu-satunya orang itu. Tapi aku kira aku tak jauh beda dengan Walikota yang sudah menghabisi seluruh keluargaku.”

“Keluargaku… dan bahkan istriku sudah dibunuh rongsokan tak berdaging itu!”

“Dan sekarang kau ingin menikahiku.”

“Demi kelanjutan umat manusia. Tadinya aku mengira aku adalah manusia terkahir yag tersisa di bumi ini. Dan bagaimanapun kau telah berhutang nyawa padaku.”

“Cih! Siapa yang sudi kau selamatkan, aku lebih baik mati di tangan robot-robot rekananku itu.”

“Rekan? Mereka yang mau membunuhmu?!”

“Ada masalah dalam komponen penutup kepalaku, jadi mereka sempat melihat diriku yang sebenarnya.” Laras menatap pergelangan tangannya yang kosong dengan tatapan sedih. “Tak ada pengkhianatan di antara mereka, prasangka buruk apalagi kecurangan. Dan sekarang mereka telah mengambil alih dunia ini, dengan masih menyisakan kita berdua.”

“Karena itulah pernikahan kita satu-satunya harapan kelangsungan manusia.”

“Sudah tidak ada yang bisa diharapkan, kita tinggal dua biji manusia yang akan musnah, dibantai robot itu, atau kita sendiri yang saling bunuh. Lagipula, menikahiku adalah sesuatu yang akan sangat berat bagimu.”

“Kenapa?”

“Coba kau sorot wajahmu.” Laras memandangi wajah Faro dengan seksama. “Yak, tidak salah lagi, kau sudah ada dalam daftar buruanku, jauh sebelum kubunuh istri dan keluargamu.”

Lampu senter itu tiba-tiba padam. Tangan Faro bergetar hebat. Menggenggam erat pisau belatinya.

Rabu, 19 Oktober 2011

MISI

Suatu komunitas terkadang harus menunjukkan eksistensinya, meskipun terlalu banyak yang harus dikorbankan. Dari harta sampai nilai dan norma yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan. Keadaan sekeliling yang ada hanyalah serangkaian kejahatan yang disengaja. Tugas seluruh anggota komunitas adalah mengumpulkan upeti yang harus diserahkan kepada pemimpinnya dengan cara merampok, mencuri, membunuh dan segala cara yang kejam lainnya. Karena memang itulah aturannya. Hukum mati telah tersedia jika, ada anggota komunitas yang mengumpulkan upeti dari hasil yang diperoleh tidak dengan cara kejahatan. Hak veto sesungguhnya dipegang oleh sang pemimpin. Hanya seorang pemimpin saja yang boleh berbuat baik. Maka pemimpin dan para asistennya yang menyediakan makanan, minuman, dan semua kebutuhan anggotanya. Namun demikian, Pemimpin itu sangat adil. Ia juga sangat senang jika dipuji terutama mengenai rumahnya, hartanya yang berlimpah karena upeti yang dikumpulkan oleh anggotanya. Meski ia menyadari akan keadaan komunitasnya yang bejat, tetapi ia tetap menghormati kaum pamerintahan yang dipimpin oleh seorang gubernur.

Gubernur bukan membiarkan komunitas yang membuat kekacauan itu, namun belum mendapatkan cara yang tepat untuk menangani mereka. Akhirnya, sang gubernurpun mengutus seorang asistennya yang paling cerdas untuk menangani kasus ini. Asisten tersebut menyadari bahwa kasus ini tidak mudah diselesaikan. Maka ia pun berkunjung ke rumah pemimpin komunitas tersebut dengan mengatasnamakan utusan dari gubernur. Dengan senang hati pemimpin tersebut menerimanya. Pemimpin itu terus bercerita akan megahnya rumah yang ia miliki, hartanya dan semua yang dimilikinya. Setelah dua jam, kunjungan itupun selesai. Asisten gubernur pamit untuk pulang. Namun, ia tidak pulang melalui jalan ketika ia berangkat. Ia justru menyusuri di sepanjang pipa di belakang rumah pemimpin komunitas itu. Esoknya asisten tersebut tidak datang ke rumah pemimpin itu lagi. Ia mempersiapkan batu permata yang akan ia kirimkan untuk pemimpin komunitas itu. Ia tidak akan membawanya kesana, karena sudah pasti jika ia membawanya sendiri maka ia akan dirampok.

Hari semakin senja, pemimpin komunitas bejat itu akan mandi, maka ia menghidupkan kran air bak mandinya. Tetapi, ia heran airnya tidak mengalir deras dan semakin lama semakin sedikit dan akhirnya air itu tidak mengalir lagi. Perlahan ia buka kran dengan paksa hingga kran itu pun jebol. Air muncrat ke segala arah, lalu menggelindinglah sebuah batu permata berbentuk prisma yang sangat indah. Ia pun terkejut dan mengambil batu permata tersebut kemudian menyimpannya. Setiap malam ia tidak berhenti berfikir, mengapa batu permata itu bisa ada di dalam pipa bak mandinya. Lalu, ia ingin mencoba mengamati batu permata itu, apakah asli atau palsu. Ia membawa batu permata itu ke pinggir jendela yang ditembus langsung oleh sinar matahari. Begitu terkena sinar matahari, batu itu berkilau mengeluarkan warna-warna yang sangat indah dan beragam. Maka, pemimpin tersebut mengambil sebuah layar berwarna hitam dan membantangkannya untuk menangkap warna-warna sinar itu. Warna-warna itu kemudian memudar, namun tiba-tiba memunculkan huruf demi huruf yang akhirnya ia mendapat apa yang dipikirkannya selama ini. batu permata berbentuk prisma itu membawa pesan untuknya agar ia datang menghadap gubernur.

Dengan persiapan yang penuh, pemimpin komunitas itu menghadap gubernur dan menunjukkan batu permata yang didapatnya. Gubernur menawarkan perdagangan terhadapnya. Tawaran tersebut ialah, gubernur mempersilahkan kepada komunitas itu untuk merampok rakyat yang dipimpinnya, namun dengan syarat mereka harus menyerahkan satu keluarga yang berasal dari komunitas mereka untuk diserahkan kepada gubernur setiap kali mereka merampok. Selain itu, mereka dilarang membunuh rakyat yang dirampoknya. Pemimpin komunitas itu marah dan berusaha berontak, namun dengan sigap asisten gubernur menunjukkan sebuah peta tentang rumahnya yang telah dipasangi oleh bahan peledak. Jika ia tidak menyetujui perjanjian itu, maka rumah dan sebagian komunitasnya akan hancur dan mati sia-sia. Maka pemimpin itupun tidak bisa berbuat banyak.

Hari semakin berganti, jumlah komunitasnya semakin sedikit karena harus ditukar oleh barang-barang yang mereka rampok. Sang pemimpin bingung karena harta yang diperoleh tidak sebanding dengan anggota komunitasnya yang ditukar. Hingga akhir ia mengalami kerugian yang maha dahsyat. Ia hanya tinggal memiliki satu orang pembantu dan dua orang asisten saja. Hartanya habis. Maka ia pun pergi menghadap gubernur. Sesampainya disana, gubernur menunjukkan suatu tempat yang membuatnya sangat terkejut. Anggota yang selama ini ia tukar kini menjadi sebuah komunitas baru. Mereka bercocok tanam, berdagang dan tidak lagi berbuat kejahatan. Maka pemimpin itu pun tertunduk lesu dan menyerah. Ia memutuskan untuk bergabung dan mengabdi kepada gubernur. Langit yang dulu mendung menyelimuti daerah itu, kini kembali membiru. Sampai tiba saatnya “Dor!” suara pistol terdengar dari ruang kerja sang Gubernur. Semua orang tergopoh-gopoh dan tidak ada satu pun yang berani melawan. Singgasana gubernur berpindah tangan, menjadi milik asistennya sendiri. Mendung kembali menyergap daerah itu. Nilai kembali dicabut, norma kembali hangus dan kebaikan sirna. Kabut menebal, menyaksikan sang gubernur baru memimpin keanekaragaman kejahatan terencana yang lebih besar.

SEKIAN

Batu di laci meja

Setiap hari sepulang sekolah Eza selalu bercerita kepada teman-temannya bahwa suatu hari ia akan menjadi pengusaha batu permata, cerita yang selalu ia ulang ketika ia di ejek teman-temannya karena selalu menaruh batu dibawah laci mejanya.

Saat jam istirahat ia sering memandangi batu-batu itu layaknya seorang pegawai kantor yang memandang gaji pertamanya awal bulan ini. Tak jarang Eza menjadi bahan olok-olokan oleh teman bahkan gurunya. Tapi ia tidak peduli, karena baginya batu yang ia temukan adalah batu unik dan cantik menurut penglihatannya. Dan ia akan tetap mencari dan mengumpulkan batu unik dan cantik itu dimanapun ia berada.

Kini Eza sudah menyelesaikan sekolahnya dan batu-batu di laci itupun sudah terkumpul menjadi 1 karung goni. Ibu terkadang bingung dengan tingkah Eza yang aneh, mengumpulkan batu dan menyimpannya. Dan tetap Eza selalu beralasan bahwa ia pengin menjadi pengusaha batu permata. Kebiasaan Eza mengoleksi batu itu tetap tidak berubah bahkan tetap terbawa sampai ia akan menamatkan strata 1 di bidang ilmu kelautan. Dan koleksi batunya kali ini tentu lebih beragam tidak hanya didarat bahkan di lautpun menjadi koleksi pelengkapnya. Eza semakin senang melihat hal ini, tapi tidak dengan Ayah. Ia sudah mulai geram melihat puluhan goni mulai bersarang di gerasi belakang rumahnya. Akhirnya tanpa sepengetahuan Eza ayah membuang batu-batu itu di halaman belakang tepat di bawah kamar Eza dan sisanya ditumpuk menyudut didekat sana.

Sepulang sekolah Eza langsung menuju kamar dan merebahkan diri sebelum akhirnya nanti ia akan memasukkan batu-batu yang ia dapat hari ini ke kantong goni koleksi bebatuan unik itu. Seperti biasa ia akan membuka jendela belakang dan membiarkan angin sejuk berebutan memenuhi kamar tidurnya. Dan alangkah kaget ketika Eza melihat batu-batu kesayangannya sebagian telah tersebar memenuhi halaman belakang. Eza sedih dan langsung berlari menuju Ibu dan bertanya siapa yang telah membuang semua batu berharganya

“Kali ini ayah benar-benar marah Za.” Kata Ibu

“Iya tapi kan tidak boleh seenak mebuang batu-batuku tanpa izin.” Sela Eza. “ibu, ibukan tahu aku sudah lama mengoleksi batu itu dan mungkin bagi Ayah, Ibu, dan teman-temanku itu hanyalah sebuah batu biasa, tapi tidak bagiku Ibu. Itu adalah batu berharga yang telah kukumpulkan selama 13 tahun dan itu batu yang unik. Ibu tahu kan?. Ibu, kali ini aku kecewa kepada Ayah.”

“Eza, sudahlah. Sabar ya. menurut Ibu, bila engkau masih mau batu-batu yang lain itu selamat lebih baik Engkau pindahkan batu-batu itu ketempat yang lebiih aman.”

Kata-kata ibu tadi membuat Eza butuh tenaga ekstra untuk menyiapkan tempat yang sesuai untuk batu-batu kesayangannya.

Toko demi toko sudah di jalani untuk menawarkan batu-batu cantiknya. Tapi ternyata usaha Eza gagal. Ternyata batu itu memang hanya batu bagi mereka. Tapi Eza tidak akan berkecil hati. Dan tiba-tiba Eza teringat dengan teman Ayah yang berjualan batu untuk menghias rumah, tiang dan dinding dengan batu-batu alami. Dan yap! Kali ini Eza berhasil. Bahkan ia takjub dengan batu-batu indah Eza. Satu kali, dua kali dan ternyata semakin lama permintaan terhadap batu-batu hiasnya semakin bertambah. Kini Eza sudah dapat penghasilan dari kumpulan batu-batu hiasnya. Dan perlahan uang itu ia tabung untuk nanti benar-benar ia berikan permata yang asli.

101011

Aku dan Beliau si No.1

Yang seperti aku itu banyak. Ada dimana-mana. Di tempat kerja bangunan, di halaman, di pantai, di dalam lautan, bahkan ada di gunung. Tapi herannya, kami ini tidak eye-catching, tidak menarik untuk diperhatikan. Tapi ya... ada sih yang lumayan ‘cantik’. Bagi mereka yang ‘cantik’, mereka diperjual-belikan dengan sangat mahal. Lalu mereka pun dipamerkan. Semua itu wajar lah.

Dari keberagaman yang kami punya, mulai dari bentuk fisik, sifat, dan tempat keberadaan kami, aku rasa hanya aku yang paling beruntung. Padahal aku ini tidak ‘cantik’ dan tidak istimewa. Bahkan aku ini jelek. Sangat jelek. Aku kecil dan sangat hitam. Diseluruh tubuhku banyak bercak-bercak putih, seperti panu. Aku pun berasal dari tempat yang tidak elit, kolong jembatan. Selama bertahun-tahun aku tinggal di sana.

‘Secantik-cantik’nya mereka yang diperjual-belikan, tapi tidak ada yang sesering aku pergi kemana saja. Mereka yang ‘cantik’ hanya sekali-dua kali diajak pergi. Tapi aku setiap saat selalu diajak pergi. Meskipun, aku tidak ketemu dengan banyak orang. Menurutku, beliau yang mengajak aku pergi ini memiliki sifat aneh. Beliau akan selalu merasa tidak enak dan tidak pede bahkan merasa ada yang kurang kalau aku tinggal. Setiap kali beliau berbicara, pasti beliau selalu menggenggam aku. Tidak pernah tidak. Padahal beliau orang no. 1 di sini, tapi setiap kali berpidato, beliau harus memastikan aku ada.

Pernah satu kali, aku bosan dengan hidupku. Aku capek untuk diajak kemana-mana. Aku risih selalu digenggam bila beliau sedang berpidato. Jadi aku memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan aku ke tempat asal, untuk membebaskan aku dari semua ini. Dan... voila.. do’aku berkabul. Salah satu ajudan beliau si no. 1 ini secara tidak sengaja menemukan aku sedang berada di ruang kerja. Saat itu aku belum diberi pakaian mahal yang dari sutra itu. Aku masih seperti apa adanya aku. Tampaknya si ajudan itu terkejut dan bingung. Ia pun langsung meraih ku dan mengeluarkan aku dari rumah megah itu. Aku senang akhirnya aku bebas. Tapi, tahukah engkau teman apa yang terjadi? Beliau si no. 1 itu langsung membatalkan semua acara dan menyuruh semua anak buahnya mencari aku. Aku berusaha sembunyi, namun apa daya, aku ketahuan. Dan akhirnya aku pun kembali lagi menemani beliau si no. 1.

Sebenarnya aku risih dengan keadaan seperti ini. Beliau seperti ketergantungan dengan keberadaan ku. Seperti yang aku bilang, aku tidaklah istimewa, tidak seistimewa yang beliau pikirkan. Aku tidak punya kekuatan apa-apa. Beliau saja yang berpikir aku ini hebat. Padahal selama ini aku tidak melakukan apa-apa. Beliau hanya kena tipu oleh orang yang memungut ku dari tempat asalku. Katanya aku beginilah, katanya aku bisa begitulah. Padahal selama ini aku hanya menikmati keadaan ku saja yang tak ubahnya seperti cinderella.

Sampai pada satu ketika, “Mas, ini jangan tinggal, nanti tidak lancar” kata sang istri kepada beliau si No. 1 sambil mengangsurkan sebuah kantung berwarna merah terbuat dari sutra yang berisi batu.

*** Ayuri (091011-19.49)