Rabu, 19 Oktober 2011

Aku dan Beliau si No.1

Yang seperti aku itu banyak. Ada dimana-mana. Di tempat kerja bangunan, di halaman, di pantai, di dalam lautan, bahkan ada di gunung. Tapi herannya, kami ini tidak eye-catching, tidak menarik untuk diperhatikan. Tapi ya... ada sih yang lumayan ‘cantik’. Bagi mereka yang ‘cantik’, mereka diperjual-belikan dengan sangat mahal. Lalu mereka pun dipamerkan. Semua itu wajar lah.

Dari keberagaman yang kami punya, mulai dari bentuk fisik, sifat, dan tempat keberadaan kami, aku rasa hanya aku yang paling beruntung. Padahal aku ini tidak ‘cantik’ dan tidak istimewa. Bahkan aku ini jelek. Sangat jelek. Aku kecil dan sangat hitam. Diseluruh tubuhku banyak bercak-bercak putih, seperti panu. Aku pun berasal dari tempat yang tidak elit, kolong jembatan. Selama bertahun-tahun aku tinggal di sana.

‘Secantik-cantik’nya mereka yang diperjual-belikan, tapi tidak ada yang sesering aku pergi kemana saja. Mereka yang ‘cantik’ hanya sekali-dua kali diajak pergi. Tapi aku setiap saat selalu diajak pergi. Meskipun, aku tidak ketemu dengan banyak orang. Menurutku, beliau yang mengajak aku pergi ini memiliki sifat aneh. Beliau akan selalu merasa tidak enak dan tidak pede bahkan merasa ada yang kurang kalau aku tinggal. Setiap kali beliau berbicara, pasti beliau selalu menggenggam aku. Tidak pernah tidak. Padahal beliau orang no. 1 di sini, tapi setiap kali berpidato, beliau harus memastikan aku ada.

Pernah satu kali, aku bosan dengan hidupku. Aku capek untuk diajak kemana-mana. Aku risih selalu digenggam bila beliau sedang berpidato. Jadi aku memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan aku ke tempat asal, untuk membebaskan aku dari semua ini. Dan... voila.. do’aku berkabul. Salah satu ajudan beliau si no. 1 ini secara tidak sengaja menemukan aku sedang berada di ruang kerja. Saat itu aku belum diberi pakaian mahal yang dari sutra itu. Aku masih seperti apa adanya aku. Tampaknya si ajudan itu terkejut dan bingung. Ia pun langsung meraih ku dan mengeluarkan aku dari rumah megah itu. Aku senang akhirnya aku bebas. Tapi, tahukah engkau teman apa yang terjadi? Beliau si no. 1 itu langsung membatalkan semua acara dan menyuruh semua anak buahnya mencari aku. Aku berusaha sembunyi, namun apa daya, aku ketahuan. Dan akhirnya aku pun kembali lagi menemani beliau si no. 1.

Sebenarnya aku risih dengan keadaan seperti ini. Beliau seperti ketergantungan dengan keberadaan ku. Seperti yang aku bilang, aku tidaklah istimewa, tidak seistimewa yang beliau pikirkan. Aku tidak punya kekuatan apa-apa. Beliau saja yang berpikir aku ini hebat. Padahal selama ini aku tidak melakukan apa-apa. Beliau hanya kena tipu oleh orang yang memungut ku dari tempat asalku. Katanya aku beginilah, katanya aku bisa begitulah. Padahal selama ini aku hanya menikmati keadaan ku saja yang tak ubahnya seperti cinderella.

Sampai pada satu ketika, “Mas, ini jangan tinggal, nanti tidak lancar” kata sang istri kepada beliau si No. 1 sambil mengangsurkan sebuah kantung berwarna merah terbuat dari sutra yang berisi batu.

*** Ayuri (091011-19.49)

3 komentar:

  1. tulisannya bagus. sangat menginspirasi. aku suka. cuma kurang gregetan, kalo bisa ditambah lagi tulisannya biar lebih mantap..:)

    salam nulis...:)

    BalasHapus
  2. iya siih ... thanks for the comment ya ifadah...

    BalasHapus
  3. sami-sami...:D
    jd kapan kita makan-makan.:)

    BalasHapus