Sabtu, 10 Desember 2011

sandal (belanda)

Siang itu ku berjalan di sebuah lorong sepi bersamanya, ku lihat air mukanya yang pucat seperti orang belanda itu, tapi terus saja kami berjalan “ sayang, kita istirahat dulu ya?” pintanya pada ku, ku gapit lenganya dan ku seret pergi berjalan lagi, ia meronta-ronta ingin ku lepaskan , tapi tetap ku acuhkan hingga tiba-tiba ia berteriak “ Hei, berhenti ! “ teriakannya itu tetap tak ku perdulikan, di tengah garangnya matahari begini dia minta berhenti , lagi pula tempat ini sangat sepi ,bagiman kalau tiba-tiba ada orang jahat yang menghadang kami, fikirku, jadi terus saja aku berjalan. Hingga akhirnya ia menangis, tapi aku diam saja. Mungkin karena dia merasa ku acuhkan dan tak kuperdulikan dari  tadi lantas dia di menendangku dan berkata “ kita putus !” saat itu seolah-olah  halilintar menyambar di siang bolong, aku sangat terluka hingga air mataku menangis , ku pandangi dia dengan tatapan nanar  sambil ku bisikkan sesuatu padanya “ huh, sudah putus padahal baru kemarin ayah membelikan sandal ini dari belanda”




Lisa 

Mana Ikhwan Untukku?

Syarifah Lestari

BLEDERR!! Subhanallah, kaget bukan buatan setelah kubaca pesan singkat di ponsel. Allah, ada yang hendak melamarkuuu! Ini sebuah prestasi, eh (mikir) ya prestasi. Aku baca ulang; hmm, apa ada yang keliru dengan cara ini?
Mirror mirror on the wall, pantaskah aku mendampinginya?” sedikit gila, aku ngobrol dengan kaca meja rias.
Kenapa mesti ngaca, orang seperti dia tentu melamar perempuan bukan karena fisik, kaca menjawab. Tapi sepertinya itu suara hatiku.
Umar. Nama sahabat Nabi, juga nama sahabatku. Mungkin sama kualitas jika hidup semasa, analisaku saja. Umar—yang kawanku—sejak SMA selalu berprestasi, pikirannya tajam, sikapnya tegas, saleh tentu saja. Dan, posturnya itu.. wajahnya itu.. astaghfirullaha’azhim. Aku pernah mengaguminya sebelum hijrah. Lalu aku tobat, karena kekagumanku bertepuk sebelah tangan.
Diterima di kampus yang sama, aku dan Umar berbeda fakultas. Jika bertemu tidak saling sapa, tentu saja, kami tidak saling pandang. Tapi aku hapal bayangannya, karena tiga tahun di SMA kami selalu satu kelas.
Tidak ada yang kebetulan. Hari ini, di hapeku, pada sebuah pesan yang kupastikan tak salah kirim, seorang kawan yang lain mengabarkan keinginan Umar melamarku.
Wiwi nama kawanku itu, agak aneh memang. Menggambarkan orangtua yang tidak kreatif, halah! Ia sudah menikah dua tahun lalu, curi start padahal kuliahnya belum lagi kelar. Sekarang kami sarjana, tapi menganggur. Tidak apa, kan ada suami yang menanggung biaya hidup. Prinsip yang salah. Tolong, kembalilah ke topik!
Wiwi, aku, dan Umar satu organisasi, sebuah lembaga dakwah skup terbesar di kampus. Tidak ada yang istimewa dengan persahabatanku dan Wiwi, kecuali bahwa dia menikah dengan kakak sepupuku, dan kami pernah bertengkar gara-gara pada sepupuku itu, kuceritakan kisah Wiwi yang dulu pernah sms-an ganjen dengan ikhwan senior.
Kami saling diam, lalu berbaikan lagi saat lebaran. Bertengkarnya pada dua hari terakhir Ramadhan.
Ke nomor ponselku, Wiwi yang tidak istimewa mengirimkan pesan ajakan taaruf dari Umar. Apa lagi yang hendak dikenalkan? Ayolah Umar, bukankah kita sudah saling kenal. Kadang-kadang agresif itu tidak baik, nuraniku angkat bicara.
Hatiku berbunga-bunga. Tombol gulir kuarahkan ke bawah, menuju huruf ‘e’, memanggil seseorang yang kuberi nama ‘em-er’ pada ponsel.
“Assalamu’alaykum. Apa kabar, Mbak? Djkalhf fieoifepi dkajdkajs kugruipgoripogsw...” sebagai orang Indonesia, etika berbasa-basi hukumnya wajib.
... terus berbicara sambil melihat jam, pulsa berlari kejam karena beda operator ...
Mbak Em-er adalah penasihat spiritualku, ya kalau berlebihan sebut saja guru ngaji. Teman berbagi masalah yang bertemu muka satu pekan sekali. Kadang-kadang libur juga jika ada acara besar, dan pertemuan dialihkan ke acara besar itu.
“O begitu... umur Ika sekarang berapa?”
“Dua satu, Mbak,” jawabku mantap. Masih muda kan, tapi sudah laku, gila!
“Sayang loh, masih muda banget. Energinya masih bisa disalurkan buat umat.”
“Memangnya kalau sudah nikah nggak bisa ngurusin umat lagi ya, Mbak?” tanyaku lugu.
“Bisa. Tapi harus berbagi dengan suami, anak, rumah... ya kan?”
Kok nanya balik, mana aku tahu. “Jadi gimana, Mbak?”
“Tunda dululah. Lagipula kita punya jalur kok, Ika tunggu saja proposal nikah dari ikhwan lewat Mbak. Insyaallah lebih bisa dipercaya.”
Aku kaget lagi. Benar-benar simalakama. Lantas aku pusing, antara Umar dan Mbak Em-er. Aku cinta keduanya. Apa? Keliru, aku cinta Mbak Em-er. Umar bukan siapa-siapaku, tidak lebih utama dari penasihat spiritual utusan struktur wilayah.
Wiwi ikut kaget mendapat balasan pesan dariku. Lewat telepon, ia khutbah tanpa naskah. Tapi Wiwi hanya tokoh tidak penting, ia marah karena tidak mampu menyenangkan hati Umar. Dan asal tahu saja, Wiwi nikah lewat jalur swasta. Kakak sepupuku, yang salehnya biasa-biasa saja, langsung datang menemui orangtua Wiwi, tidak lewat ustadz.
***
Sepekan kemudian.
Dasar mimpi, tiga hari berturut-turut Umar hadir di sana. Tapi syukurlah, ketaatanku pada Mbak Em-er mampu meredam keinginan yang menurutku tak pantas itu. Prinsipku, yang baik untuk yang baik. Itu kata Quran, jadi santai saja.
Empat bulan berikutnya.
Tapi, ‘santai’ itu cuma gampang diketik. Kini, setelah dengan pongah kutolak Umar, hatiku hancur lebur jadi puing paling puing. Undangan pernikahan Umar tergeletak manis di meja kamarku. Wiwi dengan sangat girang mengantarkannya, bahkan sampai ke kamar. Dia tentu tahu, malam ini bantal gulingku akan banjir.
Betul kata Quran, yang baik untuk yang baik. Umar menikah dengan seorang akhwat yang kelihatan biasa-biasa saja, tapi aku tahu hapalannya banyak, rajin tahajjud dan puasa sunnah. Jangan tanya dari mana aku tahu, akhwat itu binaanku. Sasi, akhwat yang dari segi fisik bertipe standar, tapi membuatku gentar dan kapok untuk mengevaluasi amalan binaan di akhir kajian. Lagi-lagi Umar melamar anak orang tanpa lewat ustadz atau siapalah yang cukup punya label untuk disegani. Mungkin karena Wiwi dianggap tidak kapabel jadi comblang, Umar datang sendirian menemui orangtua Sasi. Karena orangtua Sasi sudah setuju, binaanku yang dahsyat itu kemudian meneleponku bukan untuk minta restu, tapi sekadar mengabarkan rencana pernikahannya. Oh dunia, kau seperti ibu tiri!
Melihat kenekatan cara Umar, kupikir ia tidak dalam lingkaran pengajian lagi—aku cukup berharap, agar hati ini sedikit terhibur—tapi melihat tamu yang hadir di walimahan sederhana itu, makin retak jantungku. Rupa dan bau mereka familiar semua.
Hari ini, pada ulang tahun ke enam hancurnya hatiku.
Penasihat spiritualku sudah lima kali ganti. Sekarang kajian pekanan diisi oleh Mbak Em-er Lima, tapi aku masih sendiri. Setia menanti janji Em-er memberi ikhwan yang lebih pantas untukku. Kabarnya, biodata yang kuukir-ukir dulu sudah menguning di laci besi milik Kaderisasi.
Kulihat kerut dahi Bunda makin bertambah, apalagi jika keluarga datang silaturahim. Orang-orang tak kreatif itu seperti tak punya bahan selain membahas jodoh.
Bunda seperti orang dapat wangsit, selalu optimis menyiapkan segala hal untuk rumah tanggaku kelak. Beberapa alat dapur yang masih baru beliau tandai dengan inisialku, sebagai jatah karena tak mampu memberi warisan sepetak sawah, tanah, atau rumah seperti di sinetron-sinetron.
Melihat semua itu, baru kusadari; aku kualat.
Enam tahun lalu aku meminta izin pada orang yang bahkan tak ingat berapa usiaku, dan sekarang yang bersangkutan tak bisa dituntut pertanggungjawabannya. Ke mana materi kajian? Aku bahkan lupa untuk shalat istikharah, karena ketaatanku salah tempat. Kesadaran yang mutlak telat, bahwa posisi syariat berada di atas aturan atau AD/ART organisasi mana pun.
Sekarang Umar sudah beranak tiga, sedang aku hanya berharap segera melepas predikat singel sebelum berkepala tiga. Tak berani terus terang pada Bunda soal enam tahun lalu, khawatir keijabahan doanya sebagai ibu pudar sebab kecewa.
Menurut teori, seharusnya aku berusaha. Maka ikhtiarku kali ini adalah mendongkrak doa Bunda untukku yang kuyakin selalu ada dalam shalat malamnya. Usia sudah menyurutkan semangatku untuk aktif, termasuk menjemput jodoh—entah dengan cara apa. Terbukti, sekarang aku lebih melow, tidak lucu lagi.
Contohnya pada detik ini, sekompi orang dari pihak Ayah datang ke rumah, ujug-ujug menawarkan beberapa laki-laki kampung mereka untuk dijadikan menantu Ayah-Bunda. Ada yang juragan kambing, tauke sawit, PNS,....
“Tapi ya... mereka nggak jenggotan. Celananya biasa aja, nggak cingkrang. Biarlah, daripada yang jaga masjid itu, jidatnya item tapi makan aja nunggu dikasih warga.”
“Bla.. bla.. bla..”
“Gimana, Ka?” tanya Bunda.
Serrr... Bunda tidak serta merta memberi keputusan, beliau lebih dulu bertanya padaku. Jangankan menjawab, hatiku malah berdarah-darah mengingat kedurhakaanku melangkahi otoritasnya sebagai orangtua.

Sepatu Kaca


“Sandra, kau terlihat cantik dengan sepatu kaca itu. Bayangkan, dirimu bak cinderela asli yang turun hadir dari dunia nyata..”
“Ah, lebay kau ‘ndri. ya udah San, kita pulang yuk.”
“Udah, Ton, biarkan Sandra menikmati indahnya sepatu kaca itu dulu. Lihat tuh, dia masih asyik. Jangan gangu lah”
Sandra tersenyum, “Yuk Ton, Ndri kita pulang!”
Andri dan Tono saling berpandangan seolah berkata dalam tiap tatapan. Mereka mengerti dan paham lalu tersenyum “Ayo… Tuan Puteri…”
“Apaan sih! Yang paling dulu sampai di gapura, dia yang menang.” Mereka berlari, berlari dan berlari. Lalu tertawa lepas menikmati senyum mentari.
***
“Assalamu’alaikum Ummi…”
“Wa’alaikum salam wrwb. Sandra, Tono, Andri. sudah pulang ya? Gimana tadi pelajarannya disekolah? Bisa mengikutinya.”
“Iya, Ummi tadi aku bias menyelesaikan soal dari pak Adam didepan kelas. Hebatkan aku Ummi. Kasih selamat dong!!”
“Oiya, selamat ya cantik, kamu memang pinter. Terus berlajar dan berdoa ya supaya nanti kamu bisa juara lagi.”Sandra tersenyum.
“Aku juga Mi, tadi waktu lomba lari di sekolah dapat juara 2. Hebatkan. Andaikan saja tadi gak ada batu didepan, pasti aku bias nglahin Jono.”
“Eitt.. gak boleh seperti itu, juara 2 itupun sudah hebat, kamu harus bersyukur karena teman-teman yang lain juga berlomba tapi gak dapat juara lagi”
“Tuh, dengar Ndri.”
“Ih, apaan sih.”
“Eh, sudah, kok malah berantem. Udah masuk sana, ganti pakaian terus makan.”
“Siap Ummi” seru mereka bertiga bergaya ala polisi yang patuh pada atasan. Ummi tersenyum.
***
Anak Ummi banyak, tidak hanya kami bertiga, ada sekitar 20 orang lagi saudara kami. Meski kami bukan lahir dari rahim yang sama, tapi kami diajarkan untuk saling mencinta layaknya saudara, saling berbagi dan memberi. Kami seperti kakak adik. Pokoknya rame disini. Ada Ibu Farah yang biasa kami panggil Ummi, Ayah Yahya yang kami panggil Abi dan adek Zahra serta calon adik baru kami di kandungan Ummi farah. Kami adalah anak-anak yang tidak tahu dimana orang tua kami, tapi Ummi dan Abi selalu mengatakan bahwa kami juga anak-anak mereka. Mereka berdua sangat baik dan sudah seperti orang tua kami sendiri. Mereka yang membiayai uang sekolah agar kami tetap merasakan pendidikan seperti anak-anak lain. Adek Zahra pun juga begitu, dia begitu lucu dan menganggap kami adalah saudara-saudaranya. Bukan orang lain.
 Setiap sore, kami akan berkumpul bersama dan berceloteh ria sebagai tanda ikatan yang hangat terhadap keluarga kami di sini. Lalu setelah itu barulah Ayah dan kakak Ilman mengajak kami belajar bahasa arab sembari menghapal al-qur’an. Indah bukan…
“Iqro’.”
“Iqro’.”
“Bacalah…”
“Bacalah..”
“Bismirabbikallazi…”
“Bismirabbikallazi..”
“Dengan nama tuhanmu”
“Dengan nama tuhanmu”
“Kholaq..”
“Kholaq..”
“Yang menciptakan”
“yang menciptakan”
***
Malam itu, aku masih memikirkan tentang sepatu kaca yang indah tadi. Aku sangat menginginkannya. Tapi gak mungkin aku egois. Sedangkan saudara-saudaraku yang lain juga masih membutuhkan banyak uang. Dan gak mungkin aku minta sama Ummi. Diizinkan tinggal dirumah inipun aku sangat bersyukur. Tapi entah mengapa aku tidak bisa menghilangkan bayangan sepatu itu dari benakku. Memang indah…sangat indah… dan aku tertidur dalam khayalku tentang sepatu indah itu.
***
“Sandra, kamu dicari ummi…”, seru Ratna teman sekamarku.
“Ada apa ya?” Ratna hanya mengangkat bahu menandakan bahwa ia tidak tahu.
Segera ku bereskan buku-buku yang berserakan di lantai dan menemui Ummi.
“Ummi, Ummi mencari Sandra?”
“Ia, Ummi nyari Sandra. Sandra, Sandra bahagia tinggal disini?”
Aku binggung, pertanyaan ummi aneh. “Ummi, kok ummi ngomong begitu? Sandra sangat bahagia tinggal bersama ummi disini.” Ummi hanya tersenyum, tapi ku tahu itu senyum yang punya makna. Lalu memelukku erat. Aku binggung.
“ Sandra, Maafin ummi ya yang tidak bisa membahagiakan Sandra. Tapi, ummi bahagia bisa bersama Sandra disini. Apalagi melihat prestasi Sandra disekolah yang bagus dan rajin ibadah. Ummi bangga sama Sandra. Tetap dijaga ya ibadah dan prestasinya.”
Aku bingung kali ini kata-kata ummi tambah ngelantur. Sampai meneteskan air mata. Ada apa ini. Aku bingung.
“Sandra, tadi Ummi ditelpon sama ibu Sandra. Katanya, insyaAllah besok ibu akan kesini dan mengajak Sandra tinggal bersama ibu. Sandra bahagiakan?” kata-kata Ummi tidak seperti wajahnya. Meski tersenyum tapi ku tahu ia begitu sedih. Begitupun aku. Aku tidak tahu harus apa. Aku hanya terdiam menatap ke Ummi.
“Nanti sore, Sandra siap-siap ya. Trus pamitan sama teman-teman. Sandra siap-siap ya.” Ummi mencium keningku dan melepaskan pelukannya lalu pergi.
Aku masih terdiam dan berjalan kosong lunglai. Tak tahu, harus apa. Senang atau sedih. Dan aku juga tidak bisa menterjemahkan ini kabar duka atau suka. Tapi terasa sakit.
Aku memang berbeda dengan saudara-saudara yang ada disini. Kebanyakan anak lain ditinggal ibu atau ayah mereka. Tapi aku, aku berada disini diantar langsung oleh ibu sewaktu kecil tanpa pernah tahu kenapa disini dan kemana ibu. Yang aku tahu, aku senang tinggal di keluarga ini. Karena tidak akan ku dengar suara teriakan, keras, marah dan tangis dari kedua orangtuaku. Hingga 10 tahun aku disini. Tak pernah ku tahu dimana mereka. Dan tiba-tiba esok aku akan bertemu dengan ibu kandung yang telah melahirkanku dan tinggal bersamanya. Aku tak tahu harus merasa apa. Tapi yang pasti aku bingung. Apa bisa aku merasakan dan meresapi makna ibu kepadanya?. Dan Ummi yang sepenuh hati merawatku, saudara-saudara yang begitu mencintaiku? Lalu, dimana aku harus melangkah.
***
Pagi ini, aku masih terdiam. Teman-teman sudah mengetahui kabar ini. Mereka sedih termasuk kedua sahabatku Andri dan Tono. Mereka tak mau mengantarku untuk menjumpai ibuku. Entah dimana mereka berdua. Tuhan, apa ini akhir dari kisahku?, ucapku didalam hati.
Aku masih binggung dalam diamku. Tak ada kata yang keluar dariku semenjak Ummi mengabarkan cerita itu. Teman-teman juga sepertinya mengerti sehingga tak ada yang mau mengusikku.
Mobil sedan hitam melintas di halaman. Ummi dan Abi telah memberikan aku nasehat subuh tadi setelah sholat. Dan kali ini, aku melihat seorang wanita dan laki-laki keluar dari mobil itu. Aku melihat Ummi dan Abi. Ummi terus memegang tanganku dan melihatku dengan mata berkaca dan senyum yang dipaksakan.
Abi bersalaman dengan laki-laki itu dan mempersilahkan mereka duduk di ruang berkumpul kami. Ummi masih mengenggam tanganku dan merangkuh tangannya di pundakku.
“Sandra, Itu Ibu Sandra. Ayo salam.”Ucap Ummi. Aku pun masih binggung, apa benar ia ibuku. Aku tak ingat. Bagaimana anak 6 tahun bisa mengingat wajah ibu nya yang telah hilang 10 tahun dari hidupnya. “Dan ini adalah Ayah Baru Sandra, ayo salam sayang” seru, wanita yang dipanggil ibu itu.
Aku masih terdiam tanpa suara. Memandangi Ummi, Abi dan Saudara-saudaraku. Lalu kulihat Ibu dan Ayah yang masih berbincang dengan Abi dan Ummi. Tuhan… apa ini, mengapa rasanya sakit sekali. Bisikku dalam hati.
Tepat jam 2 siang aku dibawa kedalam mobil itu. Ummi memandangiku dengan pekat dan berkaca-kaca. Teman-teman semua menangis dan aku tak berekpresi apa-apa. Diujung sana, kulihat Andri dan Tono melihatku dari kejauhan. Seolah mengucap selamat tinggal. Aku sedih, tapi tak mampu menangis. Aku kehilangan jiwaku. Serasa mati. Sakit sekali..
Ibu dan ayah terus berbincang mengajak aku bercerita, ekspresi mereka sungguh bahagia. Aku tahu. Dan aku juga tidak mau merusak senyum itu. Sesekali aku tersenyum kepada mereka.
***
Rumah itu megah bertinggkat 2. Aku tidur ditinggkat atas. Ayah dan Ibu di tinggkat bawah. Tapi, rumah megah ini begitu sepi. Tidak ada teman sekamar. Tidak ada kumpul bareng disore hari. Tidak ada belajar mengaji dan al-qur’an. Tidak ada cerita rasul dan nabi. Aku sendiri… dan begitu sendiri.
Malam itu, tangisku pecah dalam sejadah sujud malam. Aku tak punya teman untuk sekedar berjamaah disini. Aku begitu rapuh dalam kesendirian. Aku ingin ke panti…
Esoknya aku dipindahkan disekolah baru, Ayah dan ibu bekerja hingga sore hari dan ketika pulang mereka kecapean dan pergi tidur. Hanya diakhir minggu kami biasa berbincang. Aku sungguh rindu rumah lamaku bersama ummi dan abi.
Minggu itu, aku diajak berbelanja ke mall dan membeli perlengkapan yang aku butuhkan. Hari itu, aku melihat sepatu kaca yang dahulu sering aku lihat bersama 2 sahabatku. Kenanganku kembali kemasa itu.
“San, Kamu kelihatan cantik memakai sepatu itu, seperti cinderela yang turun ke bumi.”
Andri, Tono… aku tidak menginggikan sepatu kaca itu lagi. Aku hanya ingin seperti dahulu yang mengimpikan sepatu kaca bersama kalian. Bukan bersama sepatu kaca dan mengimpikan kalian.
ri, Jambi, 201111

Sandal Banci

Oleh N.E. Saputra

Gemuruh suara serdadu dihantarkan oleh hujan di daerah taman sepermainan.
Pelataran Mesjid seperti kandang kambing yang dipenuhi jejak kaki.
Sayangnya bukan kaki kambing.
Suara-suara jangkrik, terdengar sama dengan lantai berisik, namun terlihat sekelebat bayang-banyang.
Mungkin itu karena suasana sunyi.

Siapa disana, Pak Haji teriak lantang.

Dengan senter sendunya. Pak Haji seperti Sherlock Holmes mengintai di Mesjid samping rumahnya.
Kami Pak Haji. Lantang jawab serdadu.

Ternyata mereka mencari bayang-bayang yang sama dengan Pak Haji.
Maklum sudah tradisi setiap malam minggu para serdadu mencari teman sejenis dari taman sepermainan.

Kami mau mencari teman sejenis pak Haji, biasalah. Terang serdadu
Apa ada orang yang lewat disini pak Haji.
Jejak bukan kaki kambing ada. Tapi hilang bagai Hantu. Jawab Pak Haji

Mereka menatap langit-langit Mesjid.
Mencari-cari jejak bayang-bayang.
Sibuk mereka mencari bayang, sehingga lelah terasa
Lelah mencari mereka berbagi kehangatan dengan daun celup rumah Pak Haji
Kehangatan bernostalgia menjadi hilang kesan mencari bayang-bayang.
Maklum temu kangen dengan Pak Haji.
Sebagian para serdadu merupakan warga lingkungan sekitar yang kerap sekali mendengar tausiah dari Pak Haji yang sering mengumandangkan pentingnya untuk menjaga lingkungan sekitar dari pengaruh prostitusi termasuk penjaja seks asal waria. 
Apalagi sekarang, Peraturan daerah mengenai prostitusi sudah gencar diperbincangkan.

Sandal siapa ini pak Haji Kok seorangan. Tiba-tiba serdadu 1 bertanya asal Banjarmasin
Mungkin sandal anak saya. Jawab pak Haji.
Galau serdadu melihat alas kaki tanpa teman sepasang.
Berjalan gagah gemulai keluar dari sarang seorang laki dengan wajah menor.
Gincu lupa dicuci.
Wah benar praduga saya. Terang serdadu kepada teman-temannya.
Ternyata sandal yang dikantong celanaku ada pasanganya disini.


Keterangan :
Serdadu (satpol PP)
Teman sejenis (waria)
Taman Sepermainan (taman prostitusi/ mis. Taman lawang)
Daun celup (teh)

PERKARA SENDAL WARISAN

Oleh : Karlina
Kau benar-benar gila menyaksikan sendalmu raib di depan mata. Seketika wajah Kakek buyutmu terkenang, pula wajah Ayah.
“Simpanlah sandal ini baik-baik, Nak. Jangan sampai hilang ya.” Petuah Ayahmu menjarah ingatan.
Kau mengacak-ngacak rambut.
Betapa tidak nyamannya kehilangan benda kesayangan. Sosok sandal itu pun serta merta membayang: rakitan bambu kusam, di sekitar tali dan punggungnya terdapat tulisan cina kuno. Begitu antik dan bernilai sejarah.
“Ini sandal warisan Kakek buyutmu. Sandal ini didapatkannya dari pedagang cina pada masa penjajahan belanda.” Lagi-lagi petuah Ayahmu membayang menekan batin.
Lalu kau merasai asamu putus. Hatimu dihantui buncah amarah ketika kau menanyai Doni –teman kos-kosanmu- perkara sandal itu. Jawaban yang diberikannya dengan mimik muka tak acuh, benar-benar membuatmu terpukul.
“Aku berikan ke pengemis sebelum kau bangun pagi tadi.”

Orang-orang Menangis di Makam Ayah


Orang-orang menangis di makam Ayah. Kau ikut tertunduk menyaksikan ritual penguburannya.
Kesedihan yang kau punya lebih membuncah sebelumnya, ketika Ibu terkapar melepas nyawa. Ayah datang setelah kau menemukan jenazah Ibu. Ia meraung-raung.
Kau kenal Ayah. Kau hapal matanya, bahkan detail alur pikiran dari kepala hingga hatinya. Dan kau tahu, ada yang tersimpan di sana.
Lalu sandal Ayah bercerita padamu, ada kelupasan kulit kepala dengan puluhan helai rambut di tapaknya. Kau ingat, Ayah suka menginjak apa saja yang memancing murkanya. Kau pun pernah mengalaminya. Tidak sekali dua, tapi puluhan.
Orang-orang menangis di makam Ayah. Kau membawa sandalnya, dengan helai-helai rambut Ibu. Menguburkannya di antara makam mereka, lalu berkata, “Ayah, setelah kau meminta maaf pada Ibu, baru aku akan minta maaf padamu.”

Darah Hitam

Mentari terbit dengan senyum yang hilang, pagi iniseharusnya kami mendengar kicauan burung, gemerisik dedaunan yang di tiup angin dan kokok ayam yang saling bersahut-sahutan tapi malang tak dapat di tolak , dentuman-dentuman peluru dan jeritan manusia terdengar dari luar jendela, derap langkah serdadu-serdadu jepang semakin terdengar mendekat, dekat bahkan sangat dekat dan perkampungan kami yang menjadi mencekam.


Pak somad yang biasa kami sapa dengan ustad somad tak berani membuka pintu sedikitpun , guru ngaji itu kini mungkin sedang gemetar di pojok lemari di dalam rumahnya.


“ Duar !..Duar !..”terdengar dua kali tembakan yang di layangkan ke udara sebagai peringatan menyusukl suara teriakan serdadu nomor satu “ Somad keluar !” bentaknya seraya memberikan pillihan jika pak somad dan keluarganya ingin selamat maka ia harus menyerahkan diri dan tidak lagi menyebar luaskan agama yang di anutnya,karena mereka fikir semua itu adalah kedok untuk menghimpun kekuatan pemberontak.


Tak dihiraukanya ancaman si serdadu itu, dia tetap tak keluar dari rumahnya sampai serdadu satu berteriak pada serdadu dua “ Bawa dia kemari ! “.serdadu dua datang menyeret gadis berjilbab putih, seraya menangis gadis itu meminta untuk di lepaskan tapi bukanya di lepaskan , jilbab yang melekat di atas kepalanya di tarik dengan kasar, aku sedih melihatnya. Ternyata gadis itu adalah putrid pak somad yang akan pergi ke sekolah tapi di tengah jalan ia di hadang oleh orang-orang itu ,


“Duar !...” terdengar satu tembakan dan satu suara jerit yang tertahan .Gadis mungil itu kini tersnyum dalam tidur panjangnya.


Kini giliran seorang perempuan separo baya yang di seret paksa oleh serdadu tiga dari belakang rumah,sementara serdadu satu dan yang lain tertawa terbahak-bahak dengan sekuat tenaga ia coba melepaskan diri, meronta ,mencakar,tetap tak di lepaskanya, digigitnya tangan serdadu tiga hingga berdarah, hal itu lantas membuat serdadu lain tambah terbahak-bahak seperti orang yang sedang melihat pertunjukan ludruk . Si serdadu tiga yang merasa kesakitan akhirnya kalap lantas menghantam kepala wanita itu hingga tersungkur, tak puas dengan itu ,serdadu tiga menyatkan belati yang terpasang di ujung senapanya, mula-mula wajah, tangan ,tubuh yang terbungkus rapi dengan baju kurung itu pun tak luput dari tajamnya mata belati itu, darah mengalir bercampur dengan tanah di susul dengan satu tembakan terakhir dari serdadu tiga. wanita itu menyusul anaknya yang telah pergi lebih dulu.


Namun alangkah terkejutnya aku, ketika dari balik jendela kulihat sesosok tubuh keluar dengan tanpa rasa takut bahkan tidak gemetar sedikitpun, ia hanya tersenyum dan berkata “ Allah ma’ana , Allah pelindungku dan Dia yang memberiku selamat ! bukan kalian “ kata-kata pak somad lantas membuat serdadu satu, dua, tiga dan yang lain ubahnya seorang pemburu yang mendapatkan buruanya. Dengan seringai yang mengerikan mereka memberondong pak somad dengan senapan yang dari tadi di hunuskan .
Genangaan darah yang merah bersih dari seorangpak somad telah di kotori oleh kekejaman orang-orang yang tak berhati manusia.






By: Lisa